Bintan (ANTARA) - Nelayan tradisional di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), selama ini sangat menggantungkan hidupnya dari hasil menangkap ikan di laut, baik untuk memenuhi memenuhi kebutuhan sehari-hari, maupun membayar uang sekolah anak-anak mereka.

Namun demikian, belakangan ini kondisi nelayan di daerah itu semakin terhimpit dan sulit, seiring merosotnya hasil tangkapan mereka karena harus berhadapan dengan  kapal penangkap ikan jenis cantrang dan pukat harimau (trawl).

Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dan pengoperasiannya menyentuh dasar perairan. Biasa untuk menangkap ikan demersal yang berada pada dasar laut.

Sedangkan pukat harimau atau lebih lebih dikenal sebagai pukat udang, awalnya digunakan untuk menangkap udang di perairan dasar laut. Pukat harimau adalah pukat kantong yang dioperasikan dengan cara ditarik pada jarak panjang untuk menangkap ikan-ikan yang berada pada daerah yang dilewati.


Hal inilah tampaknya yang kemudian memicu puluhan nelayan pesisir setempat berbondong-bondong mendatangi kantor DPRD Kabupaten Bintan,  di Bintan Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, Senin 22 Agustus 2022.

Di depan perwakilan legislator yang menghuni "Rumah Rakyat" itu, mereka meluapkan kekecewaan terkait maraknya kapal alat penangkap ikan (API) pukat harimau atau trawl dan cantrang yang beroperasi di perairan Bintan.

Nelayan mengeluh hasil tangkapan ikan menurun signifikan sejak alat tangkap itu bebas beraktivitas di bawah 12 mil dari bibir pantai tanpa pengawasan dari pihak berwenang.

Keberadaan puluhan kapal jenis pukat harimau dan cantrang itu dirasakan sangat mengganggu area tangkap nelayan lokal yang menggunakan peralatan tangkap tradisional, seperti rumpon dan bubu.

Selain memicu minimnya hasil tangkapan nelayan tradisional, pukat harimau dan cantrang juga dapat merusak lingkungan alam bawah laut.

Kedua alat tangkap itu diketahui sama-sama beroperasi menyentuh dasar perairan dan menjaring semua biota laut tanpa terkecuali, termasuk merusak terumbu karang serta sarana alat tangkap nelayan tradisional.

Seorang nelayan di Bintan, Yadi kini tengah kesulitan mencari sumber pemasukan sehari-hari untuk anak dan istri di rumah. Apalagi dengan beroperasinya kapal pukat harimau dan cantrang, yang berdampak terhadap merosotnya ikan hasil tangkapannya.

Ia tidak jarang pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa membawa ikan setelah berhari-hari turun ke laut. Bahkan, alat tangkap ikan yang digunakan, yakni bubu, rusak parah akibat tersapu kapal pukat harimau atau cantrang. Padahal alat untuk menangkap ikan itu dibuat dengan biaya cukup besar bagi dia, sekitar Rp600 ribu per buah.

Kapal-kapal dengan kapasitas rata-rata 30 Gross Ton (GT) itu diduga berasal dari luar maupun wilayah Bintan.

Para nelayan berharap pemerintah dapat meninjau ulang terkait pengoperasian kedua alat tangkap tersebut, terutama yang beroperasi di bawal 12 mil dari garis pantai.

Apalagi sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan  (WPP) RI dan Laut Lepas disebutkan bahwa kapal ikan yang berukuran di atas 30 GT, hanya boleh beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III. Jalur itu merupakan perairan yang berjarak di atas 12 mil laut (22,2 km) dari garis pantai.

Sejak Mei 2021, khusus cantrang juga telah dilarang. Sesuai dengan Permen KP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan, cantrang diganti menjadi jaring tarik berkantong. Berbeda dengan cantrang, mata jaring tarik berkantong berbentuk persegi.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bintan Fiven Sumanti berkomitmen memperjuangkan nasib nelayan tradisional atas beroperasinya kapal pukat harimau dan cantrang di perairan sekitar.

Dia prihatin atas serbuan kedua alat tangkap tersebut sehingga para nelayan tradisional dalam situasi tertekan. Hasil tangkapan melaut yang berkurang, tentu berimbas pula terhadap tingkat kesejahteraan nelayan pesisir yang memang menggantungkan hidupnya dengan sumber daya alam laut.

DPRD Bintan terus berupaya mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi nelayan tradisional melalui koordinasi bersama Pemerintah Kabupaten Bintan, Pemerintah Provinsi Kepri hingga ke Pemerintah Pusat.

Bentuk Satgas

Pemerintah Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawas Alat Tangkap Ikan (API) kapal pukat harimau dan cantrang di daerah tersebut.

Plt Bupati Bintan Robby Kurniawan membentuk satgas ini menyusul banyaknya keluhan nelayan tradisional Bintan yang merasa dirugikan oleh aktivitas kapal cantrang dan pukat harimau tersebut.

Pembentukan satgas tersebut melibatkan lintas instansi, mulai dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bintan, Badan Keamanan Laut (Bakamla), PSDKP, Polres Bintan, TNI-AL dan Kejaksaan serta instansi terkait yang menaungi masalah perikanan.

Satgas akan melakukan pengawasan bersama dalam merespons keluhan dan aspirasi nelayan tradisional Bintan.

Plt Bupati Bintan segera melakukan pertemuan dengan Gubernur Kepri Ansar Ahmad untuk menyampaikan terkait persoalan yang dihadapi nelayan setempat supaya bisa diteruskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengingat kewenangan pengawasan terhadap pengelolaan perikanan di bawah zona 12 mil laut, merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Kepri.

Dengan  pengawasan yang akan dilakukan satgas diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan adanya oknum-oknum yang mengakomodir kapal pukat harimau dan cantrang di laut Bintan.

Jika pengawasan diperketat, maka kapal-kapal tersebut tak akan berani menjarah area tangkap nelayan tradisional Bintan. Perlu komitmen semua pihak, dalam hal ini satgas untuk saling bekerja sama dan koordinasi.

Surati PSDKP

Upaya melindungi nelayan tradisional Bintan dari arogansi kapal pukat harimau dan cantrang, juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kepri melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).

Pada tanggal 23 Agustus 2022, DKP telah menyurati Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Ditjen PSDKP KKP RI di Barelang Batam guna membantu meningkatkan pengawasan imbas maraknya kapal pukat harimau dan cantrang di perairan setempat, khususnya di Pulau Bintan.

Kepala DKP Kepri TS. Arif Fadillah menyebut kapal tersebut telah melanggar jalur penangkapan ikan dengan memasuki area/wilayah tangkap nelayan-nelayan kecil.

Praktek yang dilakukan kapal-kapal itu telah menyebabkan kerusakan pada alat dan sarana masyarakat nelayan tradisional juga sumber daya ikan. Akibatnya, hasil tangkapan ikan makin berkurang hingga menimbulkan keresahan bagi para nelayan tradisional.

Di tengah keterbatasan sarana prasarana dan personil di daerah, maka dukungan pengawasan PSDKP yang menyasar sumber daya kelautan dan perikanan tentu sangat dibutuhkan Pemerintah Provinsi Kepri yang secara geografis meliputi 96 persen luas lautan dan hanya 4 persen daratan.

​​​​​​​Nelayan tradisional juga begitu mengharapkan perlindungan maksimal dari pemerintah saat melaut, sehingga kekayaan maritim Kepri yang melimpah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi menopang kehidupan para nelayan kecil yang secara turun temurun sudah mengakrabi semangat  kebaharian "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" ini.

 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022