Jakarta (ANTARA) - Perwakilan Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum menyoroti situasi warga Rohingya yang semakin memburuk di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.

Hal itu dia sampaikan pada peringatan lima tahun eksodus 700.000 warga Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh yang jatuh pada 25 Agustus 2022.

“Mereka tetap tanpa kewarganegaraan dan hidup dalam ketidakpastian, tidak memiliki status pengungsi, bergantung pada bantuan kemanusiaan, tidak dapat sepenuhnya menggunakan hak-hak mereka, sering hidup dalam ketakutan dan dengan ancaman penangkapan, penahanan, deportasi, dan kurangnya akses ke kesehatan, pendidikan, mata pencaharian, pekerjaan formal atau solusi jangka panjang,” kata Yuyun melalui pernyataannya, Jumat.

Dalam sejumlah pertemuan daring yang dilakukan dengan pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaar, Bangladesh, 2021 dan 2022, kata Yuyun, mereka berbagi keprihatinan atas diskriminasi dan pengucilan yang dialami oleh anak-anak mereka setiap hari serta kurangnya akses ke pendidikan.

“Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa mereka khawatir tentang tindakan saat ini untuk memaksa mereka pindah ke Pulau Bhashan Char di Teluk Benggala,” ujar Yuyun.

Selain itu, pemuda Rohingya telah menyatakan minatnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan menyarankan negara-negara ASEAN untuk memulai program beasiswa bagi mereka sehingga mereka dapat meninggalkan kamp pengungsi, mencari kehidupan yang lebih baik, dan mendapatkan pendidikan.

“Mereka mengungkapkan keinginan untuk hidup mandiri dan berkontribusi pada pembangunan dan perubahan sosial,” tutur Yuyun.

Menanggapi isu ini, Yuyun kembali mengulang seruan kepada anggota ASEAN untuk mengembangkan kerangka kerja regional yang komprehensif tentang perlindungan pengungsi serta memberi solusi yang lestari dan bersifat jangka panjang bagi pengungsi Rohingya.

Keprihatinan dan suara para pengungsi tersebut juga telah disampaikan Yuyun dalam pertemuan AICHR serta pertemuan para menteri luar negeri ASEAN.

“Saya tetap berkomitmen untuk membawa perhatian ASEAN dan negara-negara ASEAN untuk mengatasi masalah ini dan menunjukkan tanggung jawab internasional mereka atas hak asasi manusia serta solidaritas untuk kemanusiaan dengan Rohingya,” ujar Yuyun.

Sejak meletusnya konflik kemanusiaan di Rakhine State pada 2017, Rohingya menjadi salah satu isu yang paling disorot komunitas internasional. Warga Rohingya dilaporkan mengalami persekusi dan pelanggaran HAM sejak 2012, karena mereka dianggap sebagai kelompok etnis di Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan.

Meskipun lebih dari satu juta warga Rohingya tinggal di Rakhine State, dekat perbatasan Bangladesh, etnis yang mayoritas Muslim itu tidak memiliki hak kewarganegaraan yang menyebabkan mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

Pemerintah Myanmar menolak hak kewarganegaraan Rohingya dan menganggap mereka sebagai imigran gelap dari Bangladesh.

Hingga saat ini, proses repatriasi warga Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar masih terkendala karena situasi keamanan yang belum kondusif di Rakhine State serta keengganan warga Rohingya untuk direpatriasi jika tidak mendapat jaminan hak kewarganegaraan dan kebutuhan dasarnya.

Baca juga: Komisioner PBB tinjau kondisi HAM dan pengungsi Rohingya di Bangladesh
Baca juga: Petugas perketat pengawasan pengungsi Rohingya di Pekanbaru


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022