Jakarta (ANTARA News) - Harga patokan petani (HPP) komoditas gula kristal putih pada 2012 ini ditetapkan naik 15 persen dari tahun 2011, dengan memperhitungkan berbagai aspek mulai dari perlindungan petani hingga produktivitas gula.

"HPP untuk gula kristal putih tahun 2012 adalah Rp8.100/kg atau meningkat 15,71 persen dibanding tahun 2011 yang dipatok Rp7.000/kg," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi di Kantor Kementerian Perdagangan di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan data dari Kemendag, dengan HPP gula kristal putih sebesar Rp7.000/kg, rata-rata harga gula di tingkat eceran pada 2011 adalah Rp10.144/kg.

Sementara pada tahun 2010, HPP gula kristal putih yang ditetapkan adalah Rp6.350/kg dengan rata-rata harga gula pada tingkat eceran sebesar Rp10.090/kg.

Bayu memaparkan, penetapan HPP gula tersebut untuk melindungi para petani dengan memperhitungkan berbagai faktor biaya produksi seperti biaya pupuk, lahan, dan tenaga kerja.

Selain itu, lanjutnya, kebijakan terkait HPP juga dimaksudkan untuk mendorong kualitas dan produktivitas antara lain untuk meningkatkan rendemen tebu di pabrik gula di Indonesia yang rata-rata masih pada kisaran 5 - 6 persen.

Meski terdapat pabrik gula di Lampung yang tingkat rendemennya sekitar 9 - 11 persen, tetapi hal itu dinilai masih belum cukup terutama bila memperhatikan sejumlah pabrik gula di Brazil yang secara umum tingkat rendemennya hampir mencapai 15 persen.

Untuk itu, ujar dia, HPP gula akan dievaluasi setiap enam bulan dengan memperhatikan angka rata-rata rendemen nasional.

"Kalau rendemennya rendah, bukan tidak mungkin dibuat punishment dengan harga yang tidak naik atau bahkan diturunkan," katanya.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Soemitro Samadikoen mengatakan, bila rendemennya berada dalam kisaran 9 - 10 persen, maka HPP ideal Rp7.500/kg.

Namun bila rendemennya hanya sekitar 7 - 8 persen, HPP gula kristal putih dinilai layak berada di atas Rp9.000/kg.

Sementara itu, Ketua Forum Industri Pengguna Gula, Sibarani, menolak kenaikan HPP gula karena hal itu dinilai merugikan tidak hanya industri tetapi juga konsumen.

(M040)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012