Alur cerita menjadi isu dan sejak dua tahun lalu penonton telah disuguhkan begitu banyak tema baru dan dikenalkan dengan konsep baru juga, jadi di situlah menurut saya Bollywood kurang berperan,
Mumbai (ANTARA) - Bollywood mungkin mati suri, tetapi itu kesalahannya sendiri.

Penilaian itu disampaikan Akshay Kumar, salah seorang bintang Bollywood terbesar dan paling bersinar, tentang industri film berbahasa Hindi yang telah lama menyihir masyarakat India, juga dunia, dengan tarian dan nyanyiannya yang khas.

"Film-film telah gagal - itu kesalahan kami, kesalahan saya," kata Kumar dalam jumpa pers bulan lalu setelah film barunya "Raksha Bandhan" gagal mencetak box office.

"Saya harus membuat perubahan, saya harus memahami apa yang diinginkan penonton. Saya ingin menghilangkan cara saya berpikir tentang film jenis apa yang harus saya buat," katanya.

Baca juga: Aktor India Vidya Balan menantang seksime dalam birokrasi di film baru

Waktu terus berjalan dan Bollywood, sang pilar budaya India modern, mulai kehilangan daya tariknya.

Layanan streaming film seperti Netflix dan Amazon Prime selama pandemi COVID-19 telah meraup cuan dari kebosanan generasi muda India yang menganggap film-film Bollywood usang dan ketinggalan zaman.

Dari 26 film India yang dirilis tahun ini, 20 atau 77 persen di antaranya gagal di pasaran, sehingga menimbulkan kerugian separuh atau lebih dari modal mereka, menurut situs web Koimoi yang menelusuri data industri.

Angka itu hampir dua kali tingkat kegagalan pada 2019 yang mencapai 39 persen, sebelum pandemi menghantam dan memaksa ratusan juta warga India menahan diri pergi ke bioskop, yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi sumber pendapatan utama Bollywood.

Christina Sundaresan, 40, seorang ibu dari dua remaja perempuan di Mumbai, biasanya "nonton bioskop" minimal sekali sepekan sebelum pandemi. Sekarang, dia jarang melakukannya.

"Mereka oke-oke saja untuk dinikmati ketika Anda ingin tertawa tetapi saya tak akan pergi ke bioskop untuk menontonnya," kata dia.

"Anak-anak perempuan saya dulu selalu ikut menonton, tetapi sekarang mereka tidak tertarik. Mereka lebih suka menyaksikan pertunjukan dan serial Korea di platform-platform streaming ini," katanya.

Mereka bukan satu-satunya yang beralih ke layanan streaming global, yang muncul agak terlambat di India dan menawarkan beragam konten buatan Amerika dan Eropa, juga India dan Asia, mulai dari "Parasite" dan "Avenger" hingga "Squid Game" dan "Game of Thrones".

Seperempat penduduk India yang berjumlah 1,4 miliar jiwa kini menggunakan layanan semacam itu, naik dua kali lipat dari 12 persen pada 2019, menurut perusahaan data pasar Statista.

Angka itu diperkirakan akan mencapai 31 persen pada 2027, dan masih ada ruang untuk tumbuh karena di Amerika Utara saja, misalnya, jumlah pelanggan layanan streaming sekitar 80 persen dari populasi.

Baca juga: Amazon rambah penjualan tiket film di India

Apa Masalahnya?

Pendapatan film-film laris India sempat meningkat setiap tahun selama satu dasawarsa hingga meraup sekitar 2 miliar dolar AS (Rp29,71 triliun) pada 2019 sebelum menyusut selama pandemi.

Dan tampaknya, masa kejayaan Bollywood sulit untuk dikembalikan lagi.

Penjualan tiket telah anjlok setiap bulan secara berturut-turut sejak Maret tahun ini, menurut data industri.

Pendapatan film-film Bollywood diperkirakan akan turun 45 persen pada Juli-September dibandingkan dengan angka prapandemi, menurut riset dari perusahaan investasi Elara Capital.

Bollywood tak kuat lagi menjaring penonton dan harus beradaptasi jika masih ingin tetap bertahan dan berkembang, menurut wawancara Reuters dengan para penggemar film dan sejumlah pelaku industri seperti produser, distributor dan pemilik bioskop.

Beberapa dari mereka merasa khawatir dengan kelangsungan industri itu, ketika studio merilis film yang biasanya laris di pasaran sebelum pandemi tetapi selera penonton berubah dengan kemunculan layanan streaming–dikenal sebagai OTT (over-the-top) di India.

Para produser kini berlomba membuat ulang karya film dan berencana membayar aktor berdasarkan performa film di pasaran, tidak seperti dulu dengan pembayaran di muka, kata Rajender Singh Jyala, direktur program INOX, jaringan bioskop terbesar kedua di India.

"Tak seorang pun tahu apa masalah yang sebenarnya," kata dia.

Dia mengatakan selama pandemi tidak ada film baru karena semuanya ditutup dan penonton punya banyak waktu menonton OTT dan berbagai konten lain.

"Jadi, konten yang sukses dua tahun lalu, saat ini tidak layak jual," katanya.

Hampir 75 persen pendapatan film India bergantung pada bioskop, menurut para peneliti dari Universitas O.P. Jindal Global dekat New Delhi.

Sebaliknya, film-film global mendulang kurang dari setengah pendapatan mereka dari penjualan tiket bioskop, menurut data asosiasi perdagangan film AS, Motion Picture Association.

Alur Cerita Jadi Persoalan

Para penikmat film Bollywood mengatakan industri itu bisa berubah agar tetap relevan.

Bollywood, kata mereka, harus beralih ke kisah-kisah yang menggambarkan kondisi masyarakat saat ini, misalnya tentang perubahan gender.

Bagi mahasiswi Vaishnavi Sharma di New Delhi, produser hanya perlu meningkatkan kapasitasnya.

"Alur cerita menjadi isu dan sejak dua tahun lalu penonton telah disuguhkan begitu banyak tema baru dan dikenalkan dengan konsep baru juga, jadi di situlah menurut saya Bollywood kurang berperan," kata dia.

Hal itu sudah terlihat jelas bulan lalu ketika dua film bermodal besar gagal di pasaran meski memasang dua idola Bollywood, Akshay Kumar dan Aamir Khan, sebagai pemeran utama.

Kinerja buruk "Raksha Bandhan" mendorong Kumar, pemeran utama film itu, untuk mengatakan bahwa film-film India telah gagal.

Film Khan "Laal Singh Chaddha", sebuah remake dari "Forrest Gump" (1994) buatan Hollywood, hanya mendulang 560 juta rupee (Rp104,8 miliar) dari penjualan tiket.

Angka itu hanya seperempat dari modal pembuatannya, meski film tersebut dirilis pada 11 Agustus menjelang akhir pekan yang panjang.

Kegagalan itu menunjukkan perubahan drastis yang dialami kedua aktor. Film-film aksi dan komedi mereka sebelumnya selalu balik modal pada pekan pertama.

Jyala mengatakan jaringan bioskopnya mengurangi seperempat jadwal pemutaran "Laal Singh Chaddha" karena buruknya kinerja film itu.

Tak Terjangkau

Harga tiket menjadi persoalan lain yang disinggung oleh penikmat film dan pelaku industri pada saat India, seperti negara lain di dunia, berjuang mengatasi krisis biaya hidup.

Biaya menonton film di bioskop bisa menghabiskan 3.000 hingga 5.000 rupee (Rp935.130) per keluarga dengan empat orang, tergolong mahal di negara yang banyak penduduknya masih hidup dalam kemiskinan.

Rata-rata penghasilan tahunan di negara itu sekitar 160.000 rupee (Rp29,93 juta) dan tarif berlangganan layanan streaming seperti Netflix mulai 150 rupee (Rp28.063) per bulan.

"Harus ada yang diperbaiki - anggaran perlu disusun ulang dan tarif nonton bioskop juga harus ditekan," kata Anil Thadani, pemilik perusahaan produksi dan distribusi film yang juga suami dari aktris Bollywood Raveena Tandon.

"Industri film India membuat film yang jauh dari masyarakat. Sebagian besar populasi kami tidak selalu merasa dekat dengan film-film ini," katanya.

Pernyataan itu diamini oleh Sundaresan, ibu dua anak remaja di Mumbai.

"Pergi ke bioskop, duduk dan menonton film sendiri seperti membuang waktu sekarang," kata dia. "Banyak yang lebih bagus untuk ditonton di OTT."

Sumber: Reuters

Baca juga: Dianggap provokatif, Singapura larang film "The Kashmir Files"
Baca juga: India rayakan 1 miliar dosis vaksin COVID dengan film dan lagu

 

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022