Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan sejak awal penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah mengakomodasi berbagai saran dan masukan dari berbagai pihak.

"Pelibatan itu kita lakukan mulai dari penyusunan. Hal itu dibuktikan dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang mencapai 6.000 lebih," kata Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Kamis.

Sebagai latar belakang, katanya, RKUHP nyaris disahkan pada September 2019 namun batal lantaran mendapat banyak kritik dari masyarakat. Dari kejadian itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar Kemenkumham menyerap aspirasi atas pasal-pasal yang banyak mendapat perhatian.

Baca juga: Ilmuwan: Pengawasan KUHP baru penting agar tidak disalahgunakan

Kemudian pada 2021 sebanyak 12 sosialisasi digelar dan melibatkan kalangan akademisi, praktisi, kementerian/lembaga, lembaga swadaya masyarakat, hingga mahasiswa. Selanjutnya, saat Presiden mengadakan rapat terbatas pada awal Agustus 2022, Kepala Negara kembali meminta agar memasifkan sosialisasi dan menjaring masukan yang lebih luas.

Atas dasar itu, katanya, pemerintah melibatkan pejabat fungsional penyuluh hukum untuk menyosialisasikan RKUHP kepada masyarakat. Hal ini merespons arahan Presiden Joko Widodo agar masyarakat lebih memahami substansi dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan masukan.

Selain sosialisasi difokuskan pada 14 pasal yang mengandung isu krusial, ujar dia, pejabat fungsional penyuluh hukum secara khusus diperintahkan untuk menangkal informasi keliru terkait draf rancangan.

Baca juga: Kemenkumham gencarkan sosialisasi RKUHP kepada publik

Di satu sisi, Wamenkumham mengatakan respons masyarakat terhadap RKUHP kurang positif terutama berkaitan dengan proses penyusunannya.

Masyarakat, kata dia, berpandangan penyusunan RKUHP tidak partisipatif dan tidak terbuka terhadap masukan sehingga prosesnya diibaratkan seperti berjalan dalam lorong gelap.

Ia menjelaskan ketika membaca satu pasal, maka yang harus diperhatikan ialah membaca pasal itu ada di dalam Bab bagian apa. Hal itu merupakan prinsip "titulus est lex" dan "rubrica est lex".

"Tujuannya agar jangan sampai melakukan penafsiran contra legem atau bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang. Ini penting," kata dia.

Baca juga: Kemenkumham tegaskan perlu ada pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham Widodo Ekatjahjana mengatakan pejabat fungsional penyuluh hukum harus mengambil peran dengan baik dalam menyosialisasikan RKUHP.

Sebab, lanjut dia, ada bias pemahaman yang terjadi di tengah masyarakat mengenai upaya pemerintah dan DPR RI dalam melahirkan KUHP nasional yang sudah diimpikan sejak puluhan tahun silam.

Ruang diskursus publik justru banyak menampilkan pihak-pihak yang tidak punya kapasitas mengomentari RKUHP sehingga pemahaman masyarakat menjadi terdistorsi, ucapnya.

"Ini tanggung jawab pejabat fungsional penyuluh hukum bagaimana kita menangkal ini dan membendung melalui instrumen yang ada," kata Widodo.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022