(ANTARA News) - Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan, yang dengan marah meninggalkan perdebatan mengenai Jalur Gaza dengan Presiden Israel Shimon Peres, bukan orang yang asing dengan kontroversi.

Gaya pemimpin kharismatik yang berusia 54 tahun itu, yang agresif dan meledak-ledak tanpa dugaan, disebut-sebut seringkali mewarnai politik dalam negeri Yurki, dan menarik kecaman pedas dari pesaingnya dan bahkan dari pendukungnya.

Para pengeritiknya dari kubu sekuler sejak dulu selalu meragukan tokoh yang dulu beraliran Islam radikal tapi beralih jadi pendukung "demokrasi konservatif", sewaktu ia menjabarkan jalur Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) --yang dipimpinnya sampai ia memangku jabatan pada 2002, demikian laporan kantor berita Prancis, AFP..

Ketika AKP pertama kali muncul ke pemerintahan, Erdogan dipandang sebagai tokoh pembaru utama dengan tujuan membuat Turki jadi masyarakat yang lebih demokratis; ia sangat dikagumi karena mengembalikan ekonomi Turki, yang dirundung penyakit kronis, ke jalurnya dan pada Oktober 2005 berhasil meluncurkan pembicaraan keanggotaan penuh dengan Uni Eropa (UE).

Namun setelah ia secara mengesankan kembali meraih kemenangan pada 2007, banyak pengulas memandang dia sebagai seorang politikus yang kian memperlihatkan kecenderungan otokratis dan populis, dan lebih mengarahkan negerinya ke Timur Tengah daripada ke Eropa --tuduhan yang selalu dibantah oleh Erdogan dan sekutunya, kata AFP.

Erdogan, yang pernah menjadi tokoh Islam dan sebagai walikota Istanbul, melarang alkohol diperjual-belikan di berbagai kafetaria dan mendesak rakyat Turki agar memilih antara Islam dan sekulerisme. Ia mendirikan AKP pada 2001 bersama anggota moderat partai Islam --tempat asal Erdogan sebelum partai itu dilarang karena melancarkan kegiatan anti-sekuler.

Bagi kaum elit perkotaan, ia tetap menjadi pria tegar dari Kasimpasa, permukiman klas pekerja keras di Istanbul. Ia telah gagal menyembunyikan pradauga konservatifnya, kekurangan keutuhan politik dan lebih mengetahui sepak-bola daripada urusan luar negeri.

"Saya tidak datang dari latar-belakang diplomatik --saya datang dari latar-belakang politik," ia mengatakan dengan bangga dalam suatu taklimat di Istanbul, Jumat (30/1), setelah pertengkarannya dengan Peres.

Tetapi bagi kebanyakan rakyat miskin di desa dan kota Turki, ia adalah bagian dari mereka, kata AFP.

Erdogan, putra seorang kapten Angkatan Laut, tumbuh dengan menjual permen di jalan guna menunjang studinya di satu madrasah.

Erdogan, seorang penganut agama Islam yang putri dan istrinya memakai jilbab, tidak minum alkohol dan sering datang ke masjid.

Sebagai mantan mitra satu perusahaan makanan, Erdogan --yang dulu miskin-- telah tumbuh jadi jutawan, dengan memakai pakaian pesanan dan jam mahal serta berlibur ke tempat pelancongan mewah.

Namun ia tetap dekat dengan rakyat, hidup di lingkungan yang relatif sederhana di Ankara, dan bukan tinggal di kediaman resmi, serta seringkali mengunjungi permukiman kumuh, membagikan mainan dan permen kepada anak-anak, kata AFP.

Erdogan telah menghadapi kecaman karena seringkali bersikap agresif terhadap penentangnya dan media di dalam serta luar negeri, karena membahayakan peluang Turki menjadi penengah kekuasaan di Timur Tengah dengan mensahkan apa yang disebut sebagian pengulas sebagai "sikap pro-HAMAS).



"Sikap berani"

Sementara itu, ribuan pendukungnya berpawai buat Erdogan sementara Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS), Jumat, memuji "sikap beraninya.

Pengikutnya mengibarkan bendera Palestina dan Turki di bandar udara Istanbul, setelah ia meninggalkan podium di hadapan Shimon Peres dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon di Forum Ekonomi Daunia di Davos, Swiss, Kamis malam (29/1).

Saat Erdogan menjadi berita utama berbagai harian di seluruh Eropa dan Timur Tengah, kantor Peres menampik pernyataan para pejabat Turki bahwa Presiden Israel tersebut telah meminta ma`af.

Turki adalah salah satu sekutu langka Israel di dunia Muslim tapi Erdogan telah menjadi pengeritik tajam agresi militer 22-hari negara Yahudi itu ke daerah yang dikuasai HAMAS, Jalur Gaza, sehingga menewaskan lebih dari 1.300 orang Palestina.

Ia mengeluh bahwa Peres telah diberi lebih banyak waktu untuk berbicara dibandingkan dengan anggota lain panel Davos yang membahas perang di Jalur Gaza.

Erdogan juga mengeritik pemirsa internasional karena memuji pembelaan emosional pemimpin veteran Israel tersebut atas serangan itu, yang "dikatakan ditujukan untuk menghentikan serangan roket HAMAS (Haraqat Al-Muqawwamah Al-Islamiyah).

Peres, seorang peraih hadiah Nobel Perdamaian, mengatakan Israel "tak mempunyai pilihan lain", dan, sambil menudingkan jarinya ke arah Erdogan, mengatakan Perdana Menteri tersebut akan melakukan tindakan serupa "kalau roket jatuh di Istanbul setiap malam".

Pemimpin Turki itu, yang telah mengupayakan peran pembuat perdamaian dalam konflik Timur Tengah, mengatakan Israel telah melancarkan tindakan barbar di Jalur Gaza sebelum ia pergi.

Setibanya di Istanbul, Erdogan tidak meminta ma`af atas tindakannya.

"Saya melakukan apa yang harus saya lakukan," ia mengatakan kepada wartawan di bandar udara sebagaimana dikutip AFP. "Saya tak dapat terus bersikap apatis ketika sampai pada tahap ini, itu bukan sifat saya. Saya terikat kewajiban untuk membela kehormatan negara saya."

Erdogan mengatakan jauh di lubuk hatinya, ia "bukan diplomat tapi politikus".

Sementara itu, HAMAS, yang telah mempertahankan kontak dengan para pemimpin Turki sekalipun organisasi tersebut dimasukkan ke dalam daftar organisasi teror oleh kebanyakan negara Barat, memuji Erdogan.

"HAMAS memberi penghormatan atas sikap berani Perdana Menteri Turki ... yang di Davos baru-baru ini membela para korban perang kriminal Zionis terhadap anak-anak dan perempuan di Jalur Gaza," kata jurubicara HAMAS Fawzi Barhoum.

"Kami menganggap kepergiannya dari ruang itu sebagai ungkapan dukungan bagi korban Holocaust yang dilakukan oleh Zionis," kata Barhoum dalam satu pernyataan.

Harian Uni Emirat Arab, Al-Khaleej, menurunkan berita utama yang mengatakan Erdogan meninggalkan podium setelah ia "menyampaikan Holocaust Israel di Jalur Gaza dan membela rakyat Palestina".

Sementara itu Presiden Abdullah Gul membela sikap Perdana Menteri Turki tersebut, dan mengatakan, "Ia memberi tanggapan yang mesti diberitakan atas sikap tak menghormati."

Militer Turki, yang berpengaruh dan memiliki serangkaian kesepakatan kerja sama dengan militer Israel, mengisyaratkan hubungan erat itu akan berlanjut, dan menegaskan "kepentingan nasional". (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009