Amandemen UUD '45 membuat perubahan yang luar biasa, termasuk kewenangan MPR, dari kedaulatan institusi menjadi kedaulatan konstitusi.
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menegaskan tidak ada keharusan yang mendesak untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui konvensi ketatanegaraan.

"Tidak ada kebutuhan untuk membuat PPHN. Akan tetapi, kalau ketakutannya ideologi bangsa tentu adanya UUD '45 dan Pancasila dan itu sudah baik," katanya.

Hal itu disampaikannya dalam seminar bertajuk Kewenangan MPR RI Pasca-Amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam pembentukan PPHN di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Seminar itu diselenggarakan Fraksi Partai Golkar MPR dihadiri pembicara pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dan pakar hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar.

Rencana kehadiran PPHN melalui konvensi ketatanegaraan seperti yang direkomendasikan oleh MPR itu disebut akan merusak sistem ketatanegaraan.

"Jadi, saya melihatnya, ini kemauan MPR saja, untuk mengambil kembali kekuatan politiknya yang dahulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amandemen 1999-2002. Karena MPR 'kan hanya ada kalau DPR dan DPD bersidang, bukan lembaga tersendiri seperti dahulu. Jadi, ini salah kaprah saja karena maunya elite politik," jelasnya.

Bivitri mengatakan bahwa PPHN menjadi tidak penting masuk dalam konstitusi karena Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia sudah punya UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang sudah mengatur adanya Rencana Pembangunan Jangka (RPJ) Panjang, RPJ Menengah, dan RPJ Pendek yang bagus dari aspek perumusan maupun kontrol.

"Bahwa masih ada yang tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen, melainkan pada pelaksanaannya," katanya menegaskan.

Sementara itu, pakar hukum dari UGM Zainal Arifin Mochtar menilai MPR tidak bisa lagi membuat PPHN karena posisinya saat ini.

"Amandemen UUD '45 membuat perubahan yang luar biasa, termasuk kewenangan MPR, dari kedaulatan institusi menjadi kedaulatan konstitusi," katanya.

Zainal menyebut MPR bukan lagi dianggap perwakilan rakyat karena sudah ada DPR dan DPD.

"Saya kira MPR tidak lagi pengejawantahan rakyat. Maka, dalam kapasitas apa MPR membuat PPHN? Apalagi, calon presiden kampanye sendiri maka tidak ada gunanya kalau presiden mengikuti haluan dari parlemen karena punya visi dan misi sendiri," ujarnya.

Ia menilai kelahiran PPHN bahkan sangat potensial merusak sistem presidensial yang saat ini sudah terbangun.

"Kalau PPHN cawe-cawe ke lembaga lainnya dan mengganggu, saya akan tolak. Kita 'kan sudah pakai sistem presidensial. Kalau pakai sistem yang dahulu, saya setuju ada PPHN karena dahulu presiden dipilih oleh MPR. Ini mengingat dahulu sistem semiparlementer," katanya.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Konsep aksi kolektif bisa jadi "role model" PPHN
Baca juga: Bamsoet: Bentuk hukum PPHN akan ditentukan bersama


Pewarta: Fauzi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022