Jakarta (ANTARA) - Ketua Program Studi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Dr Rose Mini Agoes Salim mengatakan ada banyak faktor untuk mempersiapkan anak usia dini masuk sekolah dasar, salah satunya harus melihat kesiapan motorik kasar dan halusnya.

“Motorik kasar sudah beralih ke motorik halus, sehingga perkembangan ini tidak semua anak sama dalam satu kelas,” ucap Dr. Rose Mini saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Motorik kasar yang di maksud Rose adalah kemampuan anak usia dua sampai tiga tahun seperti melompat, menendang, dan meremas. Selain itu juga harus dilatih motorik halusnya seperti memasukkan biji-bijian ke dalam botol kecil atau mengikuti garis menggunakan krayon atau pensil.

“Jika itu sudah kuat kemudian kita lihat kapasitas kemampuannya bagaimana, apakah dia sudah mulai ingin tahu untuk menulis berhitung supaya bisa melakukan pemahaman,” kata Rose.

Selain kemampuan motorik, target perkembangan yang harus dicapai adalah meningkatnya konsentrasi menjadi lebih panjang dan secara emosional tidak terikat hanya kepada orang tuanya tetapi sudah bisa melihat tokoh otoritas lain, dalam hal ini guru.

“Jadi anak masuk sekolah tidak melulu kesiapan hanya di membaca, menulis, berhitung. Misalnya mengenal teman, memahami urutan, membedakan jenis kelamin, konsentrasi harus dari pendek sudah menjadi lebih panjang, emosionalnya tidak hanya terikat kepada bapak ibunya. Itu memudahkan dia untuk masuk SD,” kata Rose.

Rose pun menyarankan untuk guru lebih memahami lagi karakter anak didiknya yang tidak semua sama. Pendekatan guru terhadap kemampuan anak juga harus disesuaikan.

“Kalau di kurikulumnya tidak ada keharusan untuk bisa membaca, menulis dan berhitung ya itu bukan target. Targetnya mengenalkan, kalau landasannya kuat Insya Allah bisa lebih kokoh,” jelasnya.

Ia mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak usia dini masih sifatnya konkret atau nyata sehingga harus diajarkan sesuatu yang bisa dilihatnya.

Ia pun menyarankan para orangtua untuk memahami bagaimana karakteristik anaknya, jika ingin mengajarkan membaca dan menulis. Karena setiap anak menurutnya unik dan tidak bisa disamakan kemampuannya.

“Pembelajaran terbaik adalah dalam proses pemahamannya bukan produknya agar anak tidak bingung, tidak rancu apa yang dia pahami,” ucap psikolog yang akrab disapa Romi. 

Baca juga: Pengamat pendidikan: Calistung harus berdasarkan kesiapan anak
Baca juga: Mendikbudristek: RUU Sisdiknas masukkan pendidik PAUD sebagai guru


Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2022