prinsip konservasi dalam manajemen pemanfaatan hutan, perlu diperhatikan dalam penyelesaian konflik satwa manusia
Pekanbaru (ANTARA) - Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewaspadai tingginya konflik antara satwa dan manusia serta perburuan liar yang mengancam keanekaragaman hayati.

"Kita tau kenapa terjadi konflik antar satwa dan manusia, yaitu karena rumahnya sudah dimanfaatkan sebagai hal lain. Bisa juga karena pakan yang sudah langka," ucap Plt. Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK Sustyo Iriyono, dalam rapat koordinasi di Pekanbaru, Kamis.

Sepanjang Januari hingga Agustus 2022, telah terjadi 55 kasus konflik dan sejak tahun 2019 konflik satwa telah mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia dan juga kematian sejumlah satwa di Provinsi Riau.

Satwa yang masih hidup di Riau yang sering berkonflik dengan manusia antara lain harimau, gajah, dan beruang madu.

Baca juga: BBKSDA Riau mitigasi konflik buaya muara pemangsa kambing warga
Baca juga: Warga diminta tidak rambah hutan untuk cegah konflik dengan satwa

Menurut Sustyi, konflik satwa terjadi karena habitat satwa telah terdegradasi dan terfragmentasi akibat perusakan kawasan hutan dan konversi hutan. Hal ini mengakibatkan ruang hidup manusia dan satwa saling tumpang tindih.

Dia menjelaskan, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan apabila memiliki ijin pemerintah. Apabila habitat dan jangkauan satwa liar bukan hanya di kawasan konservasi, maka pemegang perizinan harus menaati aturan yang telah ditetapkan, seperti mengalokasikan penyediaan areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT)/High Conservation Value (HCV) koridor satwa, dan lainnya.

"Teknokrasi pembangunan wilayah dan internalisasi prinsip konservasi dalam manajemen pemanfaatan hutan, perlu diperhatikan dalam penyelesaian konflik satwa manusia," katanya.

Baca juga: Tahun 2021, konflik satwa liar di Aceh masih jadi sorotan
Baca juga: KLHK sebut 46 gajah mati di Aceh dalam kurun waktu tujuh tahun

Ia menjelaskan,  pembangunan bukan hanya bersifat antroposentris, namun perlu memperhatikan kehidupan liar sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan, menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.

"Dengan Rakor ini diharapkan dapat membangun sinergitas, komitmen dan konsistensi para pihak dalam penanganan konflik satwa dan perburuan yang dituangkan dalam nota kesepahaman, sehingga kelestarian dapat terjaga dan kehidupan ekonomi masyarakat tetap berjalan," sebut Sustyo.

Sementara Kepala Balai Gakkum LHK wilayah Sumatera Subhan menyebutkan bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan tumbuhan dan satwa liar di wilayah Sumatera terus dilakukan.

"Namun penegakan hukum bukanlah satu-satunya solusi. Perlu ada upaya dan komitmen bersama dari para pihak baik pengelola kawasan, penegak hukum, para mitra, pelaku usaha serta masyarakat dalam penegakan hukum dan penanganan konflik antara satwa dan manusia," tutup Subhan.

Baca juga: Petugas konservasi menghalau beruang madu dari kebun warga di Agam

Pewarta: Bayu Agustari Adha/Annisa F
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022