Lumajang, Jawa Timur (ANTARA) - Manajer Pusat Penelitian Sukosari Jatiroto Lumajang Nanik Tri Ismadi mengatakan Bioaktivator Pupuk (BAP) dapat menjadi solusi terbatasnya pupuk bersubsidi karena penggunaan bioaktivator mampu memangkas penggunaan pupuk non organik hingga 50 persen.

"Dari parameter penelitian tiga bulan penggunaan bioaktivator pupuk 2,5 ton per hektare dan pupuk non organik 50 persen mampu lebih unggul daripada yang 100 persen anorganik," katanya dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Lumajang, Jumat.

Menurutnya hasil inovasi Pusat Penelitian Sukosari di bawah PTPN XI menjadi angin segar bagi petani, namun keberhasilan penelitiannya tersebut saat ini masih diaplikasikan terhadap tanaman tebu di Jatiroto.

"Puslit Sukosari Jatiroto akan menggandeng Gabungan Kelompok Tani Kecamatan Jatiroto untuk meneliti efektivitas penggunaan bioaktivator pupuk pada komoditas lain seperti padi, jagung dan lainnya," tuturnya.

Penggunaan bioaktivator pupuk dapat membantu keberlanjutan produktivitas pertanian dan telah teruji di Laboratorium Universitas Brawijaya Malang dan Laboratorium tanah Puslit Sukosari Lumajang.

Selain itu, lanjut dia, pemanfaatan bioaktivator yang sesuai dengan kondisi tanah merupakan alternatif dalam pemupukan untuk meningkatkan kesuburan tanah, efisiensi pemupukan, keberlanjutan produktivitas tanah dan mengurangi bahaya pencemaran lingkungan.

"BAP itu merupakan bahan organik yang kaya akan mikrobia dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman yang apabila diaplikasikan bisa memperbaiki kebutuhan tanah dan meningkatkan produktivitas," katanya.

Hal tersebut muncul dari masalah kelangkaan pupuk, mahalnya harga pupuk hingga adanya pupuk palsu yang merugikan petani.

Selain kelangkaan dan mahalnya harga pupuk, ia menjelaskan bahwa penggunaan pupuk non organik berpengaruh terhadap kesuburan tanah.

Ia mengatakan semakin tidak subur tanah maka kebutuhan pupuknya juga semakin tinggi, sehingga bioaktivator pupuk menjadi solusi untuk memperbaiki kualitas tanah itu sendiri.

"Kami menganalisa tanah dari Ngawi hingga Banyuwangi bahan organiknya banyak yang di bawah 3, sedangkan kebutuhan tanaman harusnya di atas 3, pHnya sudah rendah di bawah 5," katanya.

Ia menjelaskan hal tersebut artinya tanah kurus, maka dosisnya pupuk non organik semakin tinggi karena tanahnya tidak mendukung, solusinya adalah menghadirkan mikrobia dan BAP itu peluang yang mampu meningkatkan kesuburan.

Baca juga: Mentan jelaskan alasan pemerintah subsidi pupuk Urea dan NPK

Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah naikkan subsidi sektor pertanian

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022