Jakarta (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkapkan terdapat sejumlah maladministrasi terkait penahanan produk impor hortikultura yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan salah satunya dikarenakan perbedaan tafsir regulasi antar kementerian.

"Intinya kami melihat ada disharmonisasi regulasi dalam menafsirkan berbagai macam regulasi terkait RIPH (rekomendasi impor produk hortikultura) yang berdampak pada kerugian pelaku usaha," kata Anggota ORI Yeka Hendra Fatika saat menyampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) mengenai maladministrasi penahanan produk impor hortikultura yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin.

Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh ORI berkat adanya laporan masyarakat terkait penahanan produk impor hortikultura tersebut, terdapat tiga hal yang menyebabkan hal tersebut dimulai dari disharmonisasi regulasi kebijakan Impor Produk Hortikultura.

Yeka menyebut Kementerian Perdagangan merespon ketentuan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan kebijakan impor hortikultura dengan menerbitkan Permendag 20/202 jo Permendag 25/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor.

Sementara Ombudsman menilai Kementerian Pertanian belum merespon ketentuan UU Cipta Kerja terkait impor hortikultura tersebut. Dampak dari disharmonisasi peraturan ini, kata Yeka, mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya.

Yeka menjelaskan bahwa produk impor hortikultura yang ditahan merupakan legal dan memiliki Surat Persetujuan Impor (SPI) sejak Desember 2021 hingga April 2022. Namun pihak Badan Karantina Pertanian Kementan yang menahan produk tersebut berdasarkan ketentuan Permentan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan RIPH yang terbit 18 Mei 2022.

Permentan tersebut mengatur produk hortikultura yang diizinkan untuk dikeluarkan oleh Badan Karantina Pertanian adalah setelah dilakukan uji laboratorium untuk memastikan keamanan pangan.

Kendati demikian, Yeka menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian pada 22 September 2022 telah memberikan solusi bersyarat atas penahanan produk impor hortikultura tersebut dengan mengizinkan pelepasan produk impor hortikultura bagi importir yang sudah mengantongi SPI namun belum memiliki RIPH.

"Atas solusi itu Ombudsman menyampaikan apresiasi pada Kementerian Pertanian. Intinya akan sangat tidak elok bagi pemerintah ketika perbedaan tafsir ini merugikan pelaku usaha. Kita semua sepakat menyelesaikan masalah secepatnya, tanggal 22 sudah ada solusi yang disampaikan dari Kementan," kata Yeka.

Sebelumnya, pada 9 September 2022 Ombudsman menerima laporan masyarakat dari para pelaku usaha (importir), yang menyampaikan pengaduan dan keberatan atas penahanan produk impor hortikultura oleh Barantan Kementerian Pertanian. Pelapor merupakan pelaku usaha yang mengimpor produk hortikultura seperti jeruk mandarin, lemon, anggur, cabai kering, dan lengkeng.

Yeka menerangkan bahwa telah terjadi kerugian yang diperkirakan hingga Rp8 miliar dari seluruh produk impor hortikultura yang tertahan dengan mencapai Rp30 miliar. Kerugian tersebut akibat biaya penumpukan dan listrik.

Baca juga: Puskapol: buka masukan publik dalam penyusunan Permentan RIPH

Baca juga: DPR ingin kebijakan terkait hortikultura ditata ulang lebih kondusif

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022