Magelang (ANTARA) - Festival Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, bisa berkembang menjadi besar dan dikenal luas karena tumbuh dari kekuatan budaya warga desa, kata pengamat seni dan budaya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Memet Chairul Slamet.

"Saya yakin (Festival Lima Gunung) akan tetap berlanjut karena kekuatannya ada di masyarakat. Dengan kesadaran masyarakat yang makin tinggi, maka festival ini akan tambah kuat, karena srawung-nya tetap dipertahankan, ini ada kesadaran masyarakat," kata dia di Magelang, Sabtu.

Festival Lima Gunung (FLG) diprakarsai dan diselenggarakan secara mandiri, tanpa sponsor, oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Tahun ini festival mengangkat tema "Wahyu Rumagang". Puncak festival ke-21 digelar di kawasan Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, dari 30 September sampai 2 Oktober 2022.

Panitia FLG XXI/2022 mencatat festival melibatkan sedikitnya 63 kelompok kesenian dari daerah setempat, luar kota, hingga luar negeri yang mencakup sekitar 1.300 personel.

Tari-tarian, musik, teater, performa seni, kirab budaya, pameran seni rupa, pidato kebudayaan, dan instalasi seni lingkungan desa ditampilkan dalam festival tersebut.

Warga dusun sebagai tuan rumah festival menyediakan rumah mereka secara gratis bagi para tamu dari luar kota untuk menginap dan transit sebelum pentas. Mereka juga menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tamu festival.

Namun demikian, suasana dusun tuan rumah festival juga menjadi semarak karena datangnya para pedagang kaki lima yang menjajakan aneka makanan, minuman, hingga jasa permainan anak selama festival.

Memet mengemukakan bahwa FLG bukan hanya kebanggaan masyarakat dusun tuan rumah festival, Komunitas Lima Gunung yang dibangun dan dihidupi oleh budayawan Magelang, Sutanto Mendut.

Festival tersebut, menurut Memet​​, juga menjadi kebanggaan bagi para seniman dari luar daerah maupun pengisi acara.

"Para pengisi, seniman dari luar pun punya kebanggaan juga, bagaimana dia masuk ke sebuah festival di mana semua masyarakat mendukung, semua elemen kampung ikut. Kita tidak tahu siapa produksinya, tetapi (festival) berjalan mengalir begitu saja, dahsyat," kata Memet, komponis dan pengajar Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Menurut dia, festival tersebut mendapat dukungan masyarakat dusun sebagai tuan rumah sehingga semua elemen bekerja untuk menyemarakkan dan menyukseskan perhelatan tahunan Komunitas Lima Gunung.

Ia mengemukakan bahwa tidak mudah menyelenggarakan perhelatan seni budaya sebagaimana Festival Lima Gunung, yang tidak mengandalkan bantuan dana dari pemerintah dan sponsor dari pengusaha atau kalangan elite.

"Ini tidak mudah memang, memberikan motivasi di mana teman-teman di sini bisa mempunyai kesadaran, motivasi," katanya.

Mereka yang bekerja untuk menyukseskan festival itu, Memet menuturkan, mengerjakan berbagai hal dengan kesadaran dan tanpa pamrih sehingga merasakan kebersamaan dalam hajatan seni budaya tersebut.

Ia juga mengemukakan bahwa Festival Lima Gunung XXI/2022 akan lebih bermakna karena dua tahun sebelumnya ada pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi COVID-19.

Selama pandemi, Komunitas Lima Gunung tetap melaksanakan festival, tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan penyakit tersebut.

"Mungkin (FLG tahun ini) akan lebih bermakna, terutama pada masyarakat di mana selama ini kita selalu dibatasi. (Setelah penularan COVID-19 reda) ada kerinduan untuk hadir pada sebuah peristiwa besar. Festival ini sebuah peristiwa yang sangat langka dan langgeng," kata dia.

Baca juga:
Bupati: Festival Lima Gunung implementasikan gotong royong warga
36 seniman pamerkan karya seni rupa di arena Festival Lima Gunung

Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2022