Yogyakarta (ANTARA News) - Penggunaan nomor identitas tunggal (single indentity number) dapat menjadi salah satu cara cukup efektif untuk mengantisipasi meningkatnya praktek pencucian uang di Indonesia.

"Selama ini penggunaan nomor identitas tunggal tersebut belum cukup efektif di Indonesia sehingga hal tersebut dijadikan celah bagi pelaku untuk melakukan praktek pencucian uang," kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, pada seminar "Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, para pelaku praktek pencucian uang kerap menggunakan identitas yang berbeda dalam proses pembukaan rekening bank, pembelian aset berharga dan saat penanaman investasi pada pasar uang.

Jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan kepada PPATK meningkat pesat dalam enam tahun terakhir.

Pada 2002, jumlah LKTM per bulannya adalah 10,3, dan dalam waktu tiga tahun jumlah tersebut meningkat menjadi 171 LKTM per bulan.

Pada 2006, terdapat 290 LKTM per bulan dan meningkat hampir 100 persen pada 2007, yaitu 486 LKTM per bulan, dan pada 2008, rata-rata LKTM kembali meningkat tajam menjadi 869 per bulan.

"Jadi jika dirata-rata, PPATK menerima 29 laporan transaksi keuangan mencurigakan per harinya," ujar Yunus.

Laporan LKTM tersebut didominasi laporan dari tiga sektor yaitu perbankan, valuta asing, dan perusahan efek.

Meski didominasi oleh urusan perbankan, namun praktek pencucian uang juga kerap dilakukan untuk menyembunyikan hasil kejahatan korupsi terutama hasil dari penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah atau nasional (APBD/APBN) oleh bendahara atau pemegang kas di instansi pemerintah.

Dan untuk mengatasi hal tersebut, lanjut Yunus, pemerintah harus mengetatkan pengawasan kepatuhan penyedian jasa keuangan yaitu dengan mengelola basis data secara elektronik dan tersambung dengan basis data antar instansi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009