Jakarta, (ANTARA News) - Koordinator Solusi Masalah Kerusakan Hutan Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar mengatakan bahwa Greenpeace bekerjasama dengan masyarakat untuk membuat standar pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk menyelamatkan hutan alam yang tersisa. "Sudah 10 tahun terakhir Greenpeace tidak hanya melakukan aksi menentang perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan tetapi juga menawarkan solusi untuk menyelamatkan hutan," kata Bustar di Jakarta, Rabu (12/4). Untuk kegiatan itu, kata dia, Greenpeace melibatkan pemerintah di seluruh dunia untuk mengadopsi dan menegakkan langkah-langkah tegas guna melindungi hutan alam, termasuk hutan-hutan firdaus yang relatif belum tersentuh manusia. Cara-cara yang dilakukan, dia menambahkan, adalah dengan membentuk jaringan daerah-daerah lindung global, melarang impor kayu dan produk kayu ilegal, memperomosikan pengelolaan hutan yang bertanggungjawab secara sosial dan ekologis di seluruh dunia. Serta mendukung usaha-usaha negara yang memproduksi kayu dalam memerangi korupsi dan menguatkan penegakan hukum. Dikatakan, inisiatif tersebut telah membantu menutup kegiatan-kegiatan kehutanan yang korup dan memulai alternatif-alternatif yang dijalankan oleh masyarakat seperti program `eco-forestry` di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. "Greenpeace sedang memulai proyek baru di Papua dalam menyiapkan usaha-usaha wiraswasta bagi masyarakat setempat. Inisiatif ini akan membantu melindungi apa yang tersisa dari wilayah hutan alam asli terbesar," katanya. Dampak Ekologi Sementara itu Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Emmy Hafild mengatakan bahwa dampak ekologi yang harus dibayar akibat kerusakan hutan seringkali tidak terpikirkan oleh sejumlah pihak. "Saya ingat kebakaran hutan pertama kali setelah 100 tahun di Kalimantan pada 1983, tepat 15 tahun setelah terjadi penebangan hutan besar-besaran," katanya. Kemudian, lanjutnya, peristiwa kedua terjadi pada 1987. Yang semula hanya di Kalimantan Timur kemudian meluas ke seluruh Kalimantan dan kini setiap tahun ada kebakaran hutan di Kalimantan. Lebih lanjut dia mengatakan, sebelumnya hampir semua sungai di Kalimantan dapat dilayari tetapi kini banyak sungai yang kering pada musim kemarau dan selalu banjir di musim hujan. "Belum lagi dari dampak ekonomi. Masyarakat yang tadinya bergantung pada perusahaan-perusahaan penebangan mendadak kehilangan pekerjaan ketika perusahaan itu pindah mengincar hutan yang lebih hijau setelah Kalimantan gundul," katanya. Menurut dia, pola yang sama seakan berulang, jika sebelumnya penebangan hutan besar-besaran terjadi di Jawa, kemudian Sumatra dan Kalimantan maka kini perusahaan penebangan besar mulai mengincar Papua, hutan terakhir Indonesia.(*)

Copyright © ANTARA 2006