Koalisi Masyarakat Antikorupsi Aceh mempertanyakan bagaimana tindak lanjut dari langkah hukum yang dilakukan oleh KPK.
Banda Aceh (ANTARA) - Koalisi masyarakat sipil antikorupsi Aceh meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyampaikan hasil perkembangan penyelidikan secara terbuka guna melihat potensi tipikor pada Juni 2021 hingga 30 September 2022.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, di Banda Aceh, Senin, mengatakan hingga 10 Oktober 2022 sudah memasuki atau selama 494 hari, belum ada perkembangan lebih lanjut terkait penyelidikan tersebut.

"Koalisi masyarakat antikorupsi Aceh mempertanyakan bagaimana tindak lanjut dari langkah hukum yang dilakukan oleh KPK," katanya pula.

Koalisi masyarakat sipil antikorupsi Aceh juga sudah mengirim surat dengan Nomor 016/B/MaTA/X/2022 perihal perkembangan penyelidikan terbuka di Provinsi Aceh kepada KPK pada Selasa, 4 Oktober 2022 dan diterima KPK pada Kamis, 6 Oktober 2022.

"Sejak Juni 2021 ada lima kasus yang diselidiki oleh KPK secara terbuka untuk melihat potensi tindak pidana dari lima kasus di Aceh," katanya lagi.

Alfian merincikan kasus pertama yaitu kasus PLTU 3 dan 4 di Kabupaten Nagan Raya, diselidiki karena proses perizinan dari pembangkit listrik tenaga uap tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi terjadinya konflik kepentingan dalam partai yang sama antara kepala daerah kabupaten dengan gubernur yang menjabat pada saat itu.

Kemudian, kasus kedua adalah penyelidikan pengadaan Kapal Penyeberangan Aceh Hebat I untuk lintas Pantai Barat-Pulau Simeulue dengan nilai kontrak sebesar Rp73,9 miliar, Kapal Aceh Hebat 2 lintas Ulee Lheue-Balohan dengan nilai kontrak sebesar Rp59,7 miliar, dan pengadaan Kapal Aceh Hebat 3 untuk lintas Singkil-Pulau Banyak dengan nilai kontrak sebesar Rp38 miliar.

"Pengadaan kapal Aceh Hebat 1, 2 dan, 3 tersebut dinilai bermasalah, karena kondisi kapal banyak kerusakan padahal kapal tersebut merupakan kapal baru. MaTA menilai terjadinya tindak pidana kasus korupsi pada kasus tersebut," katanya pula.

Selanjutnya, penyelidikan terhadap kasus Proyek Multi Years (MYC) dengan nilai Rp2,7 miliar sejak 2020-2022 dan dengan 14 paket pembangunan jalan dan 1 paket berupa pembangunan bendungan, prosesnya terjadi tanpa ada persetujuan melalui paripurna DPR Aceh, hanya melalui penandatanganan berupa MoU, antara Pimpinan DPR dengan Gubernur Aceh saat itu.

"Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Jumat 18 September 2020 melalui pimpinan juga telah melaporkan kasus multiyears tersebut kepada KPK," katanya.

Kasus keempat yang juga menjadi salah satu kasus dari penyelidikan terbuka yang dilakukan oleh KPK adalah Apendiks. Dalam APBA 2021 mata anggaran untuk Apendiks ditaksir sebesar Rp256 miliar.

"Berkode AP/Apendiks, satu nomenklatur yang sama sekali tidak diketahui dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah," kata dia.

Kasus yang kelima yaitu penggunaan dana Refocusing di Provinsi Aceh yang dianggarkan sebesar Rp2,3 triliun. Alokasi dana ini masuk ke dalam lima besar alokasi anggaran penanganan COVID-19 di Indonesia.

"Sampai sekarang transparansi dan akuntabilitas dari penggunaan dana tersebut masih dipertanyakan, dan DPRA pada Jum'at 18 September 2020 melalui pimpinan juga telah melaporkan kasus penggunaan dana refocusing kepada KPK," katanya lagi.
Baca juga: Polda Aceh periksa 12 mahasiswa terkait korupsi beasiswa
Baca juga: LSM antikorupsi surati KPK pertanyakan perkembangan kasus di Aceh


Pewarta: M Ifdhal
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022