Jakarta (ANTARA) - PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menyebut pihaknya siap memproduksi kendaraan ramah lingkungan berbasis energi terbarukan untuk mendukung pencapaian Net Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon yang dicanangkan pemerintah tercapai pada 2060.

"Kami sudah memproduksi mesin berbasis etanol di Indonesia, yang sudah diekspor. Kami punya teknologinya," kata Direktur Hubungan Eksternal TMMIN Bob Azam, pada seminar "Transisi Energi Baru Terbarukan Menuju Net Zero Emission (NZE) dan Tantangannya" di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.

Pada seminar yang memaparkan peran strategis transisi energi menuju netralitas karbon itu, ia mengatakan pihaknya siap bila Pemerintah Indonesia menginginkan penggunaan mobil ramah lingkungan berbasis bahan bakar nabati etanol, di samping Biodiesel 30 (B30) yang merupakan campuran BBM dengan minyak sawit mentah (CPO).

Untuk mendukung netralitas karbon Indonesia, lanjut Bob, Toyota sebagai pemain otomotif global telah memiliki beragam teknologi ramah lingkungan yang mampu disesuaikan dengan campuran energi (energy mix) sesuai kebijakan negara, termasuk kendaraan hibrid, kendaraan listrik (BEV), hingga kendaraan hidrogen. Toyota menyebut sebagai teknologi mutli-pathway.

"Kendaraan hibrid misalnya, efisiensinya bisa memangkas konsumsi BBM hingga 50 persen," katanya. Toyota sendiri, lanjutnya, sudah memiliki visi pada 2030 semua kendaraan yang diproduksinya berbasis elektrik.

Pada kesempatan yang sama Wakil Presdir TMMIN Nandi Julyanto mengatakan pihaknya tidak hanya fokus di hilir dalam menghasilkan kendaraan rendah emisi, namun juga pada proses manufaktur hingga penggunaan pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan.

Apalagi, menurut Rektor ITS dalam sambutannya menyebutkan saat ini hampir 60-70 persen pembangkit listrik masih berbasis batu bara, sehingga peran transisi energi terbarukan menuju netralitas karbon sangat penting.

Pembicara lainnya seperti Co-Founder & Direktur Indonesia Research Institute for Decarbonization, Paul Butarbutar memaparkan kaitan dari sistem ekonomi rendah karbon dengan transisi energi baru terbarukan serta implikasinya ke sektor industri manufaktur dan otomotif pada khususnya.

Pembicara dari ITS Prof Ir Joni Hermana MSc antara lain mengemukakan kesiapan kalangan akademisi melakukan riset dan membuat prototipe kendaraan listrik yang bisa dikomersialisasi selama mendapat dukungan pemerintah. Diakuinya, kadang kendaraan listrik impor lebih murah.

Sementara representatif Toyota Indonesia, Vice President Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing Yoshiaki Ishimoto memaparkan peran industri otomotif untuk transisi energi terbarukan yang dilakukan Toyota di beberapa negara dan menyatakan kesiapan Toyota mendukung target Indonesia menuju NZE 2060.

Enclave

Pada kesempatan itu Bob Azam juga mengungkapkan perlunya membuat enclave atau lokasi tertentu dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik, seperti di Nusa Dua Bali, guna mengedukasi dan mempopulerkan penggunaan kendaraan ramah lingkungan tersebut.

"Selain itu agar biaya infrastrukturnya tidak terlalu mahal," katanya. Menurutnya, biaya investasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) cukup tinggi, apalagi yang fast charging.

Selain itu, kata dia, dalam pengembangan kendaraan listrik juga dibutuhkan keberanian pemerintah memberi insentif, tidak hanya pajak, tapi juga cashback, kepada pembeli kendaraan listrik.

Ia mencontohkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberi cashback pembelian mobil listrik hingga sekitar Rp100 juta per unit, China dengan cashback hingga Rp200 juta per unit, dan Thailand antara Rp25 juta sampai 50 juta per unit.

Baca juga: Ekspor Toyota Indonesia melonjak 60 persen pada Januari-Juli 2022
Baca juga: Toyota berupaya era mobil listrik tak picu deindustrialisasi otomotif
Baca juga: Kemenperin dukung transisi gunakan kendaraan listrik, capai NZE 2060

 

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022