Untuk menghindari skenario iklim terburuk diperlukan koordinasi global dalam menyediakan instrumen yang tepat termasuk untuk ketersediaan pendanaan transisi
Washington DC, AS (ANTARA) - Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim mendukung adanya percepatan transisi hijau yang menjadi bagian dari strategi pemulihan ekonomi dan pertumbuhan inklusif sekaligus untuk meredam dampak buruk terhadap masyarakat paling rentan.

"Untuk menghindari skenario iklim terburuk diperlukan koordinasi global dalam menyediakan instrumen yang tepat termasuk untuk ketersediaan pendanaan transisi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sekaligus Pemimpin Pertemuan Tingkat Menteri ke-8 Koalisi di Washington DC, AS, Rabu waktu setempat.

Pertemuan ini membahas pentingnya transisi hijau mengingat prospek ekonomi global saat ini tidak pasti karena adanya konflik geopolitik dan peningkatan frekuensi serta biaya yang diakibatkan oleh bencana alam.

Selain itu, saat ini, negara-negara menghadapi biaya energi yang lebih tinggi, kondisi pembiayaan yang lebih ketat dan ruang fiskal terbatas untuk mengelola pemulihan ekonomi pascapandemi.

"Dunia kita saat ini berbeda dengan saat kita memulai Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim empat tahun lalu. Peristiwa cuaca ekstrem lebih sering terjadi dan naiknya permukaan laut akibat pemanasan global dapat berdampak pada 600 juta orang yang tinggal di wilayah pesisir," kata Sri Mulyani.

Ia mengatakan Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim ini akan menghasilkan laporan tentang penguatan peran kementerian keuangan para negara anggota untuk mendorong aksi iklim dan investasi menjelang penyelenggaraan COP 27.

Laporan ini akan memberikan gambaran mengenai bagaimana para kementerian keuangan berperan untuk menciptakan lingkungan pendukung serta membenahi fungsi kebijakan makro dan fiskal agar dapat mendorong aksi iklim dan investasi.

Dalam kesempatan ini, Menteri Keuangan Finlandia dan Co-Chair Koalisi Annika Saarikko mengatakan transisi hijau telah memperoleh dimensi baru karena tidak berkaitan dengan perjuangan melawan perubahan iklim tetapi juga melepaskan ketergantungan dari energi fosil.

"Pada saat yang sama, kita mencegah guncangan yang disebabkan oleh pasar energi terhadap perekonomian kita, seperti yang kita alami sekarang. Dengan transisi hijau, kita dapat lebih siap untuk menghadapi jenis krisis ini dan melindungi stabilitas masyarakat," katanya.

Pada pertemuan tersebut, para Menteri memberikan perhatian khusus pada aspek ekonomi dan finansial transisi hijau, mendiskusikan gagasan atas pengambilan kebijakan yang efektif serta berbagi pengalaman dalam mengatasi tantangan yang dihadapi dalam masa transisi.

Koalisi menekankan bahwa menteri keuangan memainkan peranan penting dalam mendukung transisi hijau, termasuk transisi ke energi bersih dengan mempertimbangkan keunikan dan kondisi-kondisi khusus di negaranya masing-masing.

Koalisi juga menggarisbawahi akan pentingnya keberlanjutan kerja sama dengan 25 mitra institusional dan rekan negara lainnya. Selain itu, Koalisi menerima tujuh anggota negara baru yakni Australia, Kamerun, Djibouti, Irak, Kazakhstan, Mozambik, dan Singapura yang telah tergabung sejak Pertemuan Tingkat Menteri ke-7 pada April 2022. Hingga kini keanggotaan Koalisi mencakup 78 negara anggota.

Pada akhir pertemuan, Belanda telah terpilih sebagai Co-Chair untuk menggantikan Finlandia setelah masa jabatan selama empat tahun akan berakhir pada April 2023. Indonesia masih akan menjabat sebagai Co-Chair dari Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim dengan perpanjangan jabatan satu tahun mulai April 2023 hingga 2024.

Baca juga: Sri Mulyani yakini instrumen fiskal jadi bantalan pada 2023

Baca juga: Menkeu terbitkan obligasi hijau senilai 4,8 miliar dolar AS sejak 2018

Baca juga: Menkeu hadiri Pertemuan IMF-Bank Dunia bahas G20 dan transisi energi

Pewarta: Satyagraha
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022