Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi kekuatan ekonomi dan kultural yang sangat besar. Thee (2012) dalam bukunya berjudul Indonesia's Economy since Independence menyebutkan bahwa jika Indonesia dapat menjaga pertumbuhan ekonominya secara baik, maka tidak mustahil kalau nantinya dapat bergabung dengan kelompok BRIC (Brazil, Rusia, India dan China).

Istilah BRIC sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Jim O’neil tahun 2001. Pada tahun 2030 kekuatan ekonomi dunia diprediksi akan bergeser pada kelompok BIIC (Brazil, India, Indonesia dan China).

Kekuatan baru ini diperkirakan dapat menggeser posisi negara-negara kelompok G-7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia dan Kanada).

Peran budaya juga tidak kalah penting dalam memperkuat posisi Indonesia di masa depan. Dalam hal ini kedudukan Indonesia sebagai negara demokratis Muslim terbesar di dunia akan semakin memperkokoh perannya di dunia Islam. Potensi besar ini tentunya perlu lebih sering ditampilkan.

Posisi Indonesia sebagai representasi dunia Islam yang membawa pesan Islam rahmatan 'alamin semakin urgen untuk dirumuskan strategi pencapaiannya. Indonesia diharapkan mampu membawa peradaban Islam yang dapat bekerja sama dengan peradaban-peradaban besar di dunia. Tentunya ini bukan slogan saja.

Bagaimana misi itu bisa dijalankan oleh Indonesia? Hal ini dapat dilakukan apabila Indonesia mulai tampil dalam wacana keislaman dunia. Keberadaan masjid dan komunitas Indonesia di negara-negara Barat tentu sangat penting dalam mengemban misi ini.

Mereka adalah para duta Indonesia yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat di negara-negara minoritas Muslim yang bertugas memperkenalkan keistimewaan Muslim Indonesia yang ramah dan bersahabat.

Kehadiran mereka dapat menopang diplomasi publik guna memperkuat citra Indonesia sebagai representasi dunia Islam.

Di Kanada ada Istiqlal Islamic Centre of Toronto (IICT) dan Masyarakat Islam Indonesia di Toronto (MIIT) yang berlokasi di Toronto, Kanada. Di Amerika Serikat berbagai komunitas Muslim Indonesia juga sangat aktif. Beberapa masjid yang berlabelkan Indonesia juga mulai berdiri, antara lain IMAAM Center di Maryland, Masjid Alhikmah di New York, Masjid Alfalah di Philadelpia, Masjid Istiqlal di Houston dan Masjid At-Thohir di Los Angeles. Sebuah pesantren Indonesia bernama Nur Inka Nusantara yang didirikan oleh Imam Shamsi Ali juga telah berdiri di AS, tepatnya di Connecticut.

Baik komunitas maupun masjid Indonesia, semuanya memerankan fungsi penting dalam memperkenalkan Islam serta budaya masyarakatnya. Mereka mendapatkan sambutan positif dari masyarakat lokal di negara-negara yang mayoritas penduduknya tidak beragama Islam itu.

Tidak hanya di Kanada dan AS, di Jepang juga berdiri Masjid Indonesia Tokyo. Di sinilah kemudian diplomasi masjid menjadi penting untuk diperkuat. Model diplomasi seperti ini juga sudah dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Turki, Iran dan Saudi Arabia.

Tentu tidaklah mudah menjalankannya, tetapi apabila dapat disinergiskan antara peran komunitas dan pemerintah serta sektor lain, maka diplomasi masjid ini akan berdampak secara tidak langsung dalam bidang ekonomi dan politik.

Kunjungan penulis ke berbagai komunitas Indonesia di Kanada dan AS (08-27 Oktober 2022) dapat dijadikan dasar dalam penyusunan strategi diplomasi publik ini. Penulis sengaja melakukan perjalanan panjang menelusuri kota-kota di Kanada dan AS, yaitu Vancouver, Toronto, Montreal, Boston, New York, Washington DC dan Maryland. Penulis banyak berdiskusi dengan masyarakat Muslim Indonesia, Konjen Vancouver dan Toronto serta ahli-ahli tentang Indonesia, Islam dan Timur Tengah.

Bagaimana peran masjid-masjid Indonesia itu bisa dioptimalkan? Secara khusus masjid-masjid itu telah memiliki label Indonesia dan secara tidak langsung menjadi semacam etalase dalam memperkenalkan Islam dan budaya Indonesia.

Salah satu hal yang penting tentunya adanya imam yang kompeten di masjid-masjid Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini dapat memfasilitasi kebutuhan masjid-masjid itu sesuai kondisi setempat. Tokoh maupun imam masjid hendaknya dipersiapkan dalam menjalankan peran diplomasi publik negara Indonesia.

Para imam itu haruslah seorang ahli agama yang telah mendapatkan pendidikan agama ala pesantren klasik, tetapi dapat berkomunikasi menggunakan bahasa setempat secara baik. Memang tidak mudah secara cepat mencari calon-calon seperti ini.

Alternatif lain adalah mendukung anak-anak Indonesia yang lahir di luar negeri dan memiliki kecenderungan untuk mendalami ilmu agama di Indonesia. Mereka dapat belajar di pesantren-pesantren di Indonesia yang kuat penguasaan kitab-kitab klasiknya, dengan beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Keuntungannya adalah mereka menguasai bahasa asing dan budaya negara setempat.

Tentu, tugas imam Indonesia itu tidak hanya secara internal membina jamaah Indonesia, tetapi juga komunitas dari negara-negara lain. Yang utama adalah praktik Islam Indonesia itu dapat dirasakan oleh masyarakat setempat. Salah tokoh Indonesia yang dapat memerankan fungsi ini adalah Imam Shamsi Ali.

Jika kebutuhan akan imam-imam yang dapat merepresentasikan wajah Indonesia dapat difasilitasi oleh pemerintah bersinergi dengan komunitas setempat, maka diplomasi masjid ini akan selangkah lebih maju.

Masjid Indonesia di luar negeri akan menjadi etalase penting dalam mempromosikan produk-produk budaya Indonesia, mulai dari pemikiran, praktik keagamaan, kesenian, hingga kulinernya. Islamophobia yang berkembang di negara-negara Barat juga akan terreduksi sendiri.

*) Yon Machmudi PhD adalah Kepala Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG UI, Dosen Program Studi Arab FIB UI serta Direktur Eksekutif Inisiatif Moderasi Indonesia

 

Copyright © ANTARA 2022