Yogyakarta (ANTARA) - Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Itulah peribahasa yang pas menggambarkan upaya Pemerintah Kota Yogyakarta menjaga dan melestarikan cagar budaya yang terserak dengan merevitalisasi sekolah yang menempati bangunan cagar budaya.

Dengan demikian, predikat kota budaya sekaligus kota pelajar untuk Yogyakarta bisa dipertahankan. Dunia pendidikan maju dan akselerasi pelestarian bangunan cagar budaya bisa diwujudkan.

Data Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta melalui laman jogjabudaya.jogjaprov.go.id menyebutkan jumlah bangunan cagar budaya di kota tersebut jauh lebih banyak dibanding empat kabupaten lain di DIY.

Di Kota Yogyakarta tercatat 693 bangunan cagar budaya yang sebagian besar adalah rumah tinggal, namun ada pula tempat ibadah, mes atau asrama, hotel, perkantoran, stasiun, museum, hingga sekolah.

Dari ratusan bangunan cagar budaya tersebut, ada sekitar 20 bangunan yang dimanfaatkan sebagai sekolah dari berbagai jenjang pendidikan.

Salah satunya adalah SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta yang berlokasi di pojok selatan sisi timur Alun-Alun Utara Yogyakarta, tepatnya di Jalan Musikanan. Bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.89/PW.007/MKP/2011 atau pada 17 Oktober 2011.

Sekolah tersebut dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VII atau pada 1913 dengan nama Holland Indische School (HIS) dan pada 1946 diubah menjadi Sekolah Rakjat Sempoema Kepoetran 1 dan saat ini menjadi SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta.

Sejak pertengahan Agustus tahun ini, sekolah yang sudah berdiri lebih dari seabad tersebut direnovasi karena kondisi bangunan yang mulai rusak dimakan usia sehingga membahayakan siswa maupun warga sekolah lain.

Anggaran untuk renovasi tidak berasal dari Dinas Pendidikan atau Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman melainkan menggunakan anggaran dari dana keistimewaan yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dengan nilai total sekitar Rp870 juta.

Fokus utama renovasi bangunan adalah perbaikan bagian atap termasuk rangkanya karena sudah rusak dan bocor. Atap sekolah akan dikembalikan ke kondisi awal yaitu menggunakan genteng jenis kripik atau genteng tanah liat tanpa tambahan glasur atau cat yang mengkilap.

Saat dibongkar, atap sekolah menggunakan empat jenis genteng yang berbeda-beda dan sebagian masih memenuhi ketentuan dan syarat sehingga bisa digunakan kembali untuk mengganti atap di bagian aula sekolah yang juga direhabilitasi.

“Jadi, nanti hanya akan ada satu jenis genteng yang digunakan. Kami juga memperbaiki plafon,” kata Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Susilo Munandar.

Dalam melakukan rehabilitasi dan renovasi bangunan cagar budaya, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta melibatkan sejumlah arkeolog untuk memastikan agar bangunan yang sudah diperbaiki tidak melenceng dari kondisi bangunan awal yaitu dengan arsitektur bergaya tradisional.

Masukan dan saran juga diterima dari Tim Ahli Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta yang beranggotakan lima orang.

Pihaknya ingin mengembalikan kondisi bangunan seperti aslinya. Material bangunan yang digunakan pun diupayakan sama atau setidaknya mendekati bangunan asli.

Meskipun sudah berusia 109 tahun, sejumlah bagian dari bangunan SD Negeri Keputran 1 tersebut masih asli seperti rangka kayu dan dinding dari anyaman bambu atau gedhek.

Rangka kayu yang digunakan untuk rangka utama bangunan kelas bahkan diyakini sudah berusia sekitar 200 tahun karena Sultan Hamengku Buwono VII memilih material berkualitas saat membangun bangunan termasuk pilihan kayu yang berusia 100 tahun.

Namun demikian, ada beberapa bagian bangunan yang sudah tidak terjaga keasliannya seperti lantai yang kini sudah diubah menggunakan keramik serta dinding pembatas antar ruangan kelas untuk mengganti dinding gedhek meskipun hanya sebagian.

Penggantian lantai dari tegel abu-abu menjadi keramik dilakukan sekolah sebelum diterbitkan UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sehingga renovasi tidak dilakukan sesuai kaidah.

Selain SD Negeri Keputran 1, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta mencatat ada enam sekolah yang memanfaatkan bangunan cagar budaya yang juga membutuhkan renovasi namun belum bisa dianggarkan dalam waktu dekat.

Sekolah tersebut adalah SD Kintelan, SD Ungaran, SD Ngupasan, SMP Negeri 1 Yogyakarta, SMP Negeri 6 Yogyakarta, dan SMP Negeri 8 Yogyakarta.

Untuk tahun 2023 tidak ada kegiatan fisik menggunakan anggaran dana keistimewaan. Pihaknya usulkan pada tahun 2024 karena perencanaannya sudah ada.

 

Branding sekolah 

Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Aman Yuridijaya menilai banyaknya bangunan pendidikan atau sekolah di kota tersebut yang memanfaatkan bangunan cagar budaya menjadi bagian dari keistimewaan dunia pendidikan di Kota Yogyakarta.

Rehabilitasi sekolah yang memanfaatkan bangunan cagar budaya pun sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai kepentingan untuk kemajuan dunia pendidikan saja tetapi juga wujud kontribusi nyata dalam pelestarian bangunan cagar budaya itu sendiri.

Selain memperbaiki bangunan dan mengembalikan ke bentuk asli, rehabilitasi sekolah juga perlu diikuti dengan branding pemanfaatan bangunan cagar budaya untuk kepentingan pendidikan di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya sekaligus kota pelajar.

Branding dilakukan dengan membubuhkan narasi atau cerita mengenai bangunan cagar budaya. Branding dipandang sebagai sebuah kekuatan yang akan menggerakkan masyarakat untuk lebih menghargai pelestarian bangunan cagar budaya.

Jika bangunan cagar budaya hanya dipandang sebagai bangunan kuno tanpa tambahan narasi apapun, maka tidak akan menarik minat masyarakat dan mungkin saja cerita sejarah akan hilang dimakan zaman.

Narasi tersebut diyakini akan menjadi kekayaan dan kekuatan budaya di Kota Yogyakarta, bahkan tidak mungkin bisa menambah sumber daya tarik pariwisata di Kota Yogyakarta yang mengantongi predikat sebagai kota budaya.

Sementara itu, dukungan dana keistimewaan untuk rehabilitasi sekolah yang memanfaatkan bangunan cagar budaya baru dilakukan untuk pertama kalinya di SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta dan diharapkan bisa dilanjutkan di sekolah lain yang membutuhkan.

“Sinergi ini menjadi bentuk nyata integrasi antara program pengembangan pendidikan dan akselerasi pelestarian bangunan cagar budaya,” katanya.


Sekolah makin nyaman

Meskipun saat ini kegiatan belajar sedikit terganggu karena rehabilitasi fisik masih berlangsung, namun setelah seluruh pekerjaan selesai dilakukan, maka kegiatan belajar mengajar bisa berjalan semakin baik.

Siswa pun harus sangat berhati-hati saat keluar masuk dari kelas karena banyaknya rangka besi dan tumpukan material yang berada di kawasan sekolah tersebut.

Namun, proses pekerjaan fisik berjalan sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan dan ditargetkan dapat diselesaikan pada akhir tahun.

Kepala SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta Agus Sutikno meyakini, kegiatan belajar mengajar di sekolah akan semakin nyaman dan mendukung peningkatan kualitas pendidikan.

“Proses pembelajaran akan semakin baik dan harapannya, mutu pendidikan di sekolah dan di Kota Yogyakarta pun akan meningkat,” katanya.

Perbaikan gedung sekolah juga dianggarkan melalui APBD Kota Yogyakarta, namun lebih diarahkan untuk menambah atau memperbaiki sebagian bangunan saja, bukan untuk pembangunan baru.

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta menilai, kondisi gedung sekolah masih cukup baik dan layak tetapi sekolah tetap diminta untuk melakukan pengecekan rutin kondisi bangunan sebagai antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Kerusakan biasanya terjadi di bagian atap atau plafon yang bocor. Sekolah kemudian menyampaikan atau mengusulkan rencana perbaikan untuk ditindaklanjuti.

Tentu pihaknya akan melakukan asesmen bersama dengan dinas terkait mengenai kerusakan tersebut karena harus dibuat prioritas perbaikan menyesuaikan anggaran yang dimiliki.

Kondisi bangunan sekolah yang tertata dengan baik, rapi, dan bersih, menjadi salah satu daya tarik bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.

Sekolah yang bersih dengan bangunan yang bagus akan menjadi modal untuk menarik minat siswa bersekolah.

"Kami sangat tidak ingin ada kejadian sekolah di Yogyakarta rusak karena akan mencoreng citra kota pendidikan,” katanya.





 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022