New York (ANTARA) - Harga minyak mentah bervariasi pada akhir sesi perdagangan pada Kamis (Jumat pagi WIB), karena kekhawatiran tentang inflasi yang mengurangi permintaan minyak bersaing dengan berita bahwa China sedang mempertimbangkan untuk melonggarkan tindakan karantina COVID-19 bagi pengunjung.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember kehilangan 3 sen atau 0,03 persen, menjadi ditutup pada 92,38 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November yang berakhir pada Kamis (20/10/2022), terangkat 43 sen atau 0,5 persen, menjadi menetap di 85,98 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Pada Rabu (19/10/2022), minyak mentah WTI dan Brent masing-masing naik 3,3 persen dan 2,6 persen, setelah data menunjukkan penurunan dalam persediaan minyak mentah AS.

Untuk melawan inflasi, Federal Reserve AS berusaha memperlambat ekonomi dan akan terus menaikkan target suku bunga jangka pendeknya, kata Presiden Federal Reserve Bank of Philadelphia Patrick Harker, Kamis (20/10/2022).

Indeks dolar AS memangkas kerugian setelah komentar tersebut, membebani harga minyak. Dolar yang lebih kuat mengurangi permintaan minyak dengan membuat bahan bakar lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

"Harker mengatakan bahwa perang terhadap inflasi baru saja dimulai," kata Phil Flynn, analis Price Futures Group di Chicago. "Jadi sepertinya pasar mulai gelisah."

Namun, mendukung harga, Beijing sedang mempertimbangkan untuk memotong periode karantina bagi pengunjung menjadi tujuh hari dari 10 hari, Bloomberg melaporkan pada Kamis (20/10/2022), mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

"Itu dilihat sebagai indikator permintaan positif untuk pasar," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho di New York.

China, importir minyak mentah terbesar di dunia, telah menerapkan pembatasan ketat COVID tahun ini, yang sangat membebani aktivitas bisnis dan ekonomi, sehingga menurunkan permintaan bahan bakar.

Larangan Uni Eropa yang membayangi terhadap minyak mentah dan produk minyak Rusia, serta pengurangan produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, juga telah mendukung harga.

OPEC+ menyepakati pengurangan produksi 2 juta barel per hari pada awal Oktober.

Secara terpisah, Presiden AS Joe Biden mengumumkan rencana pada Rabu (19/10/2022) untuk menjual sisa pelepasannya dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) negara itu pada akhir tahun, atau 15 juta barel minyak, dan mulai mengisi kembali persediaan saat ia mencoba untuk meredam tingginya harga bensin menjelang pemilihan paruh waktu pada 8 November.

Tetapi pengumuman tersebut gagal menurunkan harga minyak, karena data resmi AS menunjukkan bahwa SPR pekan lalu turun ke level terendah sejak pertengahan 1984, sementara stok minyak komersial turun secara tak terduga.


Baca juga: Biden katakan AS siap lepas lebih banyak cadangan minyak
Baca juga: Harga minyak di Asia beragam karena investor hati-hati
Baca juga: Minyak menguat karena persediaan AS turun dan rencana rilis cadangan

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022