Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono menegaskan, rekanan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) yang terlibat kasus dugaan pembelian senjata secara ilegal di Hawaii, Amerika Serikat (AS), akan masuk daftar hitam jika terbukti melakukan pelanggaran. "Sekarang tengah kita kaji dan periksa rekanan-rekanan Departemen Pertahanan (Dephan) dan Mabes TNI, termasuk yang berada di Singapura, karena secara prinsip yang terlibat kemarin merupakan agen di Singapura," katanya usai Rakor Khusus Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) di Jakarta, Senin. Ia menjelaskan, rekanan Dephan dan Mabes TNI dari Indonesia hanya tertunggangi rekanan dari Singapura yang melakukan pemesanan sejumlah senjata yang bukan merupakan pesanan Dephan dan Mabes TNI. Juwono mengemukakan, keberadaan dua perwira TNI Angkatan Udara (AU) di AS adalah untuk memeriksa dan mengonfirmasi kondisi suku cadang radar pesawat tempur F-5 Tiger dan pesawat angkut C-130 Hercules. Keberadaan mereka itu, tambahnya, sah karena dilengkapi surat tugas dari Mabes TNI AU dan Pemerintah AS juga membenarkan pengadaan suku cadang radar pesawat F-5 dan C-130 Hercules tersebut melalui sertifikat yang mereka berikan. Tetapi, mereka pada kesempatan terpisah mengadakan pertemuan di antara rekanan sipil yang terdiri atas Warga Negara Indonesia (WNI), dan warga negara Singapura, dengan pemasok senjata AS untuk melakukan pemesanan sejumlah alutsista yang bukan pesanan TNI atau Dephan. "Jadi, yang terkait dengan TNI, dalam hal ini TNI AU, adalah pemesanan pengadaan suku cadang radar F-5 dan Hercules," katanya. Hal itu, kata Juwono, sudah dijelaskan Pemerintah Indonesia kepada Duta Besar AS untuk Indonesia dan Atase Pertahanan AS, yang kemudian dipahami oleh keduanya. "Untuk itu, kita sedang kaji keabsahan dari rekanan ini, apakah mereka masuk dalam daftar rekanan Mabes TNI atau Dephan. Jika ternyata masuk, akan kita blacklist," ujarnya. Pihak otoritas Federal Hawaii menahan empat orang, termasuk dua WNI, pada 9 April 2006 dengan tuduhan pembelian senjata secara ilegal. Empat orang itu bernama Hadianto Djoko Djuliarso (41) WNI, Ibrahim Bin Amran (46) dari Singapura), Ignatius Ferdinandus Soeharli, dan David Beecroft (belum diketahui usia dan asal kewarganegaraan), ditangkap saat mengadakan pertemuan dengan seorang pengusaha asal Detroit, di Hawaii, mengenai pembelian sejumlah senjata yang diduga akan diekspor ke Indonesia melalui Singapura. Dalam pertemuan itu dibahas kemungkinan penawaran 240 unit peluru kendali, 862 unit senapan mesin, 800 unit pistol dan 15 unit senjata khas sniper. Sementara itu, Sekjen Dephan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengemukakan, pemerintah masih menunggu proses hukum terhadap Hadianto Djoko Djuliarso, karena di satu sisi yang bersangkutan adalah rekanan, tetapi di sisi lain diduga kuat terlibat bisnis senjata ilegal. "Ini masalah yang krusial, karena Hadianto adalah rekanan, tetapi di satu sisi melakuan pertemuan yang konon membahas pembelian senjata secara ilegal. Ini yang akan diinvestigasi secara hukum di AS," ujarnya. Kredit poin dari pihak rekanan akan menurun, ujar Sjafrie, sehingga Dephan akan segera mengkaji keabasahan dan melakukan penilaian terhadap kinerja dari pihak rekanan bersangkutan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006