Palu (ANTARA News) - Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Rinaldy Damanik membantah keras tudingan tentang keterlibatan pengurus institusi yang dipimpinnya dalam aksi penyerangan warga muslim di Poso pada kerusuhan pertengahan tahun 2000. "Tudigan itu sama sekali tidak beralasan," katanya ketika dihubungi per telepon oleh wartawan di Tentena, kota kecil di tepian Danau Poso, yang menjadi pusat kegiatan GKST, Senin. Keterangan tersebut disampaikan Damanik menanggapi pernyataan dua dari tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva, yang mengungkapkan Majelis Sinode GKST terlibat secara langsung dalam kerusuhan tersebut seperti yang diutarakan kepada sejumlah wartawan di LP Petobo Palu, tempat mereka ditahan, akhir pekan lalu. "Kami (massa Pasukan Merah) yang hendak menyerang warga muslim di wilayah Poso ketika itu sempat didoakan di halaman GKST oleh para pendeta," kata Tibo. Menurut Damanik, Tibo dkk bisa saja berkomentar dan membuat pernyataan tentang kerusuhan Poso dengan menyudutkan orang lain, namun mereka harus mampu membuktikan tudingannya guna membantu aparat kepolisian mengungkapkan kebenaran dari penyataan mereka sendiri. "Kalau toh hal itu memang ada, Tibo dkk dapat mengajukan tuntutan hukum untuk membuktikan keterlibatan Sinode GKST dalam kerusuhan Poso," tuturnya. Bantahan senada disampaikan Yahya Patiro, mantan Sekkab Poso dan kini menjabat Ketua II Sinode GKST. Menurut Patiro, tudingan yang disampaikan Tibo dkk mengenai keterlibatan Majelis Sinode GKST dalam kerusuhan Poso, termasuk dirinya, sama sekali tidak benar. "Tidak mungkin Sinode memerintahkan atau menyuruh melakukan kekerasan atau kekejaman lainnya, termasuk pembunuhan terhadap manusia tidak berdosa," kata dia menegaskan. Kepada ANTARA News sebelumnya, Yahya Patiro mengatakan bahwa kerusuhan Poso yang mencapai klimaksnya pada pertengahan tahun 2000 merupakan tindakan spontanitas dari sebagian masyarakat akibat kekecewaan terhadap penguasa daerah yang ketika itu kurang memperhatikan aspirasi dan kesejahteraan rakyat, selain lemahnya proses penegakkan hukum terhadap aksi-aksi kekerasan sebelumnya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006