Digitalisasi kepemiluan dibutuhkan, mengingat kompleksnya penyelenggaraan pesta demokrasi ...
Jakarta (ANTARA) - Perkembangan pesat teknologi informasi selama 2 dekade terakhir ini membawa segala bidang yang berkaitan dengannya sama-sama tumbuh pesat.

Sebelum tahun 2000, jaringan telekomunikasi cenderung hanya digunakan untuk keperluan telepon atau pesan singkat. Kemudian jaringan telekomunikasi mampu memberikan layanan data internet meski pada kurun 2000-2010 belum begitu baik kecepatan akses datanya.

Saat ini sebagian besar wilayah di Tanah Air sudah menikmati kecepatan akses internet yang memadai. Perkembangan jaringan telekomunikasi juga diikuti dengan perangkat keras yang juga bergandengan dengan perkembangan perangkat lunak.

Kini, semua terhubung dengan jaringan internet dan aplikasi perangkat lunak yang ada, baik pada media komputer maupun gawai di sektor keuangan, perdagangan, kesehatan, pendidikan, layanan publik, perizinan, pasar daring, hingga ojek pun sudah terdigitalisasi dalam jaringan.

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia 2 tahun terakhir juga ikut mengakselerasi perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi. Banyak hal yang beralih ke penggunaan dalam jaringan (daring) karena pembatasan interaksi fisik demi mencegah rantai penyebaran COVID-19.

Meski banyak yang telah memanfaatkan teknologi dan digitalisasi, masih ada yang belum banyak tersentuh teknologi informasi dan digitalisasi, misalnya, penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan, pemilihan umum, dan pemilihan kepala daerah.

Pada pemilu terakhir, KPU memang sudah mengarah pada digitalisasi kepemiluan, seperti dengan hadirnya sistem pencalonan dan sistem informasi partai politik. Namun, model dalam jaringan tersebut tentunya belum menjadi hal utama dalam penyelenggaraan.

Pemilu tetap mengacu pada sistem, metode, maupun tahapan konvensional, yang dilakukan dengan berbagai bukti fisik sebagai acuan utama, seperti pencalonan, rekapitulasi suara pemilu, dan hal lainnya. Jadi, pada Pemilu 2024 belum ada regulasi yang mengesahkan untuk bisa menggunakan sistem informasi dan digitalisasi dalam kepemiluan.

Merujuk perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi serta kondisi pandemi yang memerlukan pembatasan sosial, akhirnya beberapa kalangan mendorong pemilu beralih dari metode konvensional menjadi pemilu dengan digitalisasi.

Arah digitalisasi yang digaungkan adalah digitalisasi tahapan-tahapan di kepemiluan, bukan soal penggunaan pemungutan suara elektronik (e-voting).

Namun, ada juga kalangan yang mempertanyakan sudah perlu atau belumkah digitalisasi kepemiluan mengingat kondisi jaringan telekomunikasi dan kecakapan masyarakat soal teknologi.

Ruang-ruang digital memang sudah berkembang pesat, tetapi hal pendukung seperti internet belum sepenuhnya merata ke seluruh Tanah Air. Ada juga anggapan bahwa tidak seluruh masyarakat yang sudah melek teknologi.

 

Saatnya

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyebutkan sudah saatnya penyelenggaraan Pemilu 2024 mengakomodasi penggunaan teknologi informasi, digitalisasi kepemiluan.

"(Soal) kompleksitas pemilu, kalau misalkan tidak menggunakan teknologi, tentu ini juga akan menjadi persoalan. Maka penting bagi semua, terutama penyelenggara, untuk melakukan berbagai inovasi," kata Saan.

Realitas di masyarakat, konstituen memang masih belum merata melek teknologi. Masih ada masyarakat yang gagap teknologi (gaptek) meski belakangan ini penggunaan teknologi informasi sudah meningkat pesat.

Literasi digital masih rendah, kemudian infrastruktur jaringan telekomunikasi yang mendukung teknologi informasi juga belum merata di daerah. Ada beberapa daerah yang infrastruktur digitalnya masih rendah.

Namun, kondisi tersebut bukan alasan untuk tidak memulai transformasi digital kepemiluan, beralih dari metode konvensional, manual menjadi metode dengan penggunaan teknologi digital. Hal itu menjadi sebuah tuntutan zaman belakangan ini.

Digitalisasi kepemiluan dibutuhkan, mengingat kompleksnya penyelenggaraan pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia. Kompleksitas pemilu tersebut terasa pada penyelenggaraan Pemilu 2019

Banyak sumber daya manusia yang berguguran pada Pemilu 2019, salah satu penyebabnya karena kelelahan dalam menyelesaikan tahapan-tahapan yang berlangsung dengan metode dan sistem yang konvensional atau manual.

Contohnya, seperti rekapitulasi hasil penghitungan suara yang harus dilakukan berjenjang, mulai dari TPS, kecamatan, kabupaten kota, provinsi, hingga pusat. Rekapitulasi juga diikuti dengan pleno-pleno penetapan hasil di setiap jenjang tingkatkan.

Kerja-kerja dengan cara manual tersebut akhirnya membuat berbagai pihak, tidak hanya penyelenggara, mengalami kelelahan luar biasa akibat beban kerja yang besar.

Namun, dengan digitalisasi kepemiluan, menggunakan sistem rekapitulasi elektronik (Sirekap atau e-Rekap), tahapan bisa diselenggarakan lebih cepat dan mengurangi beban tugas penyelenggara maupun pengamanan karena tidak harus melakukan rekapitulasi di setiap tingkatan.

"Sekali lagi bahwa pemilu yang berkualitas ini salah satunya juga bagaimana hasilnya itu bisa cepat diketahui," kata Saan.

Pada Pemilu 2024, penyelenggaraan tidak hanya untuk pemilu serentak, melainkan juga pemilihan kepala daerah. Beban penyelenggara tentunya akan makin berat dan menjadi persoan tersendiri jika tidak menggunakan teknologi informasi.

 

Digitalisasi kepemiluan

Sebenarnya, KPU jauh hari sudah merancang dan berupaya mewujudkan penyelenggaraan pemilu dengan penggunaan teknologi informasi. KPU telah menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) pada tahapan pendaftaran partai parpol.

Komisi ini juga merancang berbagai teknologi kepemiluan lainnya, seperti sistem informasi pencalonan, sistem pemutakhiran data pemilih, sistem informasi logistik, dan sistem rekapitulasi elektronik hasil penghitungan suara.

Untuk Sirekap, KPU pun pada 2 tahun terakhir sudah melakukan sejumlah uji coba sebagai upaya agar digitalisasi kepemiluan tersebut dapat diterapkan pada Pemilu 2024.

KPU juga merencanakan dapat membangun super app sebagai sistem elektronik pemilu yang memberikan kemudahan layanan kepemiluan.

Dengan semua digitalisasi bisa berada dalam satu aplikasi, partai politik atau pemilih bisa mengakses sistem elektronik yang dibutuhkan dalam satu genggaman.

Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mencontohkan super app seperti milik Gojek ataupun Grab. Para pengguna bisa mengakses banyak layanan yang dibutuhkan hanya dengan satu aplikasi, seperti butuh sarana transportasi, pemesanan makanan, pemesanan belanja di minimarket, sampai soal kesehatan.

Dalam kepemiluan, peserta pemilu atau masyarakat sebagai pemilih tidak akan tahu adanya Silon, Sipol, Sirekap, Silog, dan Sidalih jika tidak sedang pemilu. Atau kalau tahu,  mungkin salah satu saja dari keberadaan sistem elektronik kepemiluan itu.

Namun dengan seluruh sistem kepemiluan terintegrasi dalam satu super app, peserta pemilu atau pemilih nantinya bisa mengetahui dan memanfaatkan sistem tersebut dengan efisien.

Penggunaan teknologi dalam kepemiluan merupakan hal baik namun yang paling penting untuk diperhatikan adalah kesiapan dan pilihan teknologi yang dibutuhkan.

"Menyiapkan teknologi yang tepat. Yang dibutuhkan sistem yang siap, SDM yang siap. Kesiapan bisa menciptakan akurasi yang cukup tinggi," kata peneliti senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay.







 

 

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022