Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Kerja Kesehatan Balita dan Anak Prasekolah Direktorat Gizi dan KIA Kemenkes, Nida Rohmawati mengajak orang tua dan keluarga untuk mendeteksi secara mandiri kondisi bayi/balita melalui pemanfaatan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

“Kami, tenaga kesehatan tidak bisa mengetahui anak-anak ayah-bunda sehat atau sakit kalau tidak dibawa ke fasilitas kesehatan (Faskes). Makanya, kami ingin meningkatkan bagaimana peran keluarga untuk melakukan deteksi dini balita yang sakit di rumah,” kata Nida dalam webinar yang digelar oleh Direktorat Gizi dan KIA Kemenkes dan Tentang Anak di Jakarta, Jumat.

Menurut data yang dihimpun, kata Nida, angka kematian bayi cukup tinggi, yaitu 24 bayi yang meninggal  dari 1000 bayi yang lahir hidup. Merujuk pada data Sampling Registration System 2018, bayi baru lahir atau neonatus, bayi, dan balita terbanyak meninggal di rumah sakit dan di rumah.

Baca juga: Kemenkes: Buku KIA salah satu strategi turunkan angka kematian balita

Baca juga: Pemanfaatan buku KIA belum sesuai harapan


Secara rinci, bayi yang meninggal di rumah sakit, yaitu neonatus 69,9 persen, bayi 70,6 persen, dan balita 62,8 persen. Sementara yang meninggal di rumah, neonatus 15,2 persen, bayi 20,2 persen, dan balita 24,4 persen.

Nida memandang tingginya kematian yang terjadi di rumah sakit dikarenakan keterlambatan orang tua atau keluarga membawa bayi ke fasilitas pelayanan kesehatan atau sudah dalam kondisi lanjut, sehingga dapat meningkatkan risiko kematian.

“Ayah-bunda tentu setuju agar bayi/balita kita jangan sampai menderita penyakit yang berat baru dibawa ke fasyankes dan akan sulit untuk bisa dilakukan penanganan. Tidak semudah (penanganan jika penyakit berat) dibandingkan jika kondisinya masih ringan,” ujarnya.

Nida mengatakan Kemenkes pada tahun ini mencetak buku KIA dengan penambahan lembar yang baru, salah satunya pemantauan bagi bayi/balita. Pengisian lembar dilakukan setiap hari ketika bayi baru lahir sampai usia dua bulan, serta dilakukan setiap minggu ketika bayi memasuki usia 2-60 bulan.

Tanda-tanda yang dapat dipantau secara mandiri oleh orang tua, antara lain napas, aktivitas, warna kulit, hisapan bayi, kejang, suhu tubuh, buang air besar, tali pusat, mata, kulit, dan imunisasi untuk neonatus hingga usia dua bulan.

Kemudian, untuk bayi 2-60 bulan tanda-tanda yang dipantau, yaitu napas, batuk, demam, diare, warna kulit, aktivitas, hisapan bayi, serta pemberian makanan.

Baca juga: Begini isi buku KIA edisi terbaru, apa bedanya dengan KMS?

Baca juga: Jangan sepelekan buku KIA untuk pantau tumbuh kembang anak


Tak hanya pemantauan secara pengamatan, kata Nida, orang tua dapat melakukan pemantauan bayi di atas 6 bulan melalui cara pengukuran sederhana dengan menggunakan tali meteran atau pita lingkar lengan atas. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui risiko gizi pada bayi.

“Jika ukuran lingkar lengan atas biasanya kita menggunakan lengan kiri. Anak tanpa menggunakan baju, kemudian diukur dari tonjolan tulang yang di pangkal lengan sampai ke siku, misalnya 20 cm berarti pertengahannya kan 10 cm itu kita ukur lingkarnya di sana, berapa diameternya,” kata Nida.

Apabila lingkar lengan di bawah 12,5 cm berarti anak berisiko gizi kurang, kurang dari 11,5 cm berarti berisiko gizi buruk, dan lebih dari 12,5 cm berarti dalam kategori aman. Namun demikian, metode ini bukanlah suatu diagnosis melainkan deteksi dini.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022