Jakarta (ANTARA) - Hak atas pangan ditegaskan dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), Pasal 11 ayat (1) dengan sangat jelas, yakni "Negara-Negara Peserta Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian dan perumahan layak, serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus."

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya adalah sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976.

Kovenan ini betul-betul sangat penting, salah satunya dalam menegakkan hak asasi manusia akan pangan.

Hak atas pangan dan ragamnya, adalah sebuah hak asasi manusia yang melindungi hak seseorang untuk ketersediaan pangan, mendapatkan makanan layak, mendapatkan akses pangan, dan memenuhi kebutuhan diet. Hak atas pangan melindungi hak seluruh manusia untuk bebas dari kelaparan, ketidakamanan pangan, dan malanutrisi.

Sustainable Development Goals (SDGs) yang kurun waktunya mulai Tahun 2015 hingga 2030 adalah wujud nyata komitmen ratusan kepala negara di dunia untuk mengejawantahkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Tujuan ke-1 dan 2 dari SDGs adalah ingin menciptakan kehidupan warga dunia yang bebas dari kemiskinan dan bebas dari kelaparan.

Untuk lebih jelasnya, wujud dari komitmen tersebut bisa dilihat [ada Tujuan 1 - Tanpa kemiskinan (no poverty). Intinya, pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat di dunia.

Tujuan 2 - Tanpa kelaparan (zero hunger). Inti sari semangat ini mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan.

Membebaskan warga dunia, termasuk Indonesia dari kemiskinan dan kelaparan, jelas komitmen ini berkaitan erat dengan hak atas pangan sebagai hak asasi.

Dalam konteks hak atas pangan, negara dibebani kewajiban untuk memenuhinya sebagaimana hak asasi manusia lainnya. Negara dibebani kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan dan gizi yang terjangkau dan memadai.

Oleh karena itu, pengabaian terhadap pangan dan gizi ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negara. Bahkan, ketika hak atas pangan diabaikan secara terus menerus, maka pelanggaran tersebut bisa disamakan dengan pemusnahan generasi secara laten (silent genocide).

Hak atas pangan yang layak, memiliki asas indivisibility, yaitu keterkaitan satu hak asasi dengan bentuk hak asasi yang lain. Artinya, hak atas pangan tidaklah berdiri sendiri, namun juga bergantung pada penghormatan akan kebebasan dasar yang lain.


Pemberantasan kemiskinan

Itu sebabnya, genderang perang melawan kemiskinan dan kelaparan, sudah sejak lama dibunyikan.

Segala daya dan upaya dikerahkan. Sumber dana yang ada juga digelontorkan. Semua warga dunia sepakat kemiskinan dan kelaparan secepatnya harus dihilangkan.

Kesungguhan pemerintah untuk memerangi kemiskinan dan kelaparan warga bangsanya, tidak hanya ditempuh melalui kemauan politik, namun juga dilanjutkan lewat tindakan politik nyata di lapangan.

Bahkan secara kelembagaan, pemerintah telah menugaskan secara khusus kepada Wakil Presiden untuk memegang komando pemberantasan kemiskinan di negeri ini.

Sampai saat ini pemerintah masih terus berjuang keras memerangi kemiskinan, suasana hidup miskin dan lapar yang menyergap kehidupan masyarakat, yang belum sepenuhnya dapat tertuntaskan.

Di sejumlah daerah masih terekam ada warga yang hidup belum layak. Mereka cukup kesusahan jika tidak ada bantuan pemerintah.

Dihadapkan pada keadaan yang demikian, tentu semua pihak sepakat jika perang melawan kemiskinan harus terus dilakukan dan jangan sampai berhenti.

Kemiskinan harus ditenggelamkan dan diganti dengan kesejahteraan. Kelaparan harus dihentikan dan diubah dengan kecukupan bahan makanan. Esensinya tidak boleh ada lagi rakyat miskin dan lapar.


Swasembada beras

Belum lama ini, Indonesia mendapat penghargaan dari lembaga riset dunia International Rice Research Institute (IRRI) atas kisah suksesnya meraih Swasembada Beras.

Prestasi ini betul-betul sangat membanggakan. Betapa tidak, di saat bangsa ini disergap pandemi COVID-19, ternyata masih mampu menggapai status Swasembada Beras.

Yang membuat semua bertanya-tanya, mengapa di satu sisi bangsa ini mampu berswasembada beras, namun di sisi yang lain, masih ada warga bangsa yang kekurangan.

Pertanyaan ini logis saja mengemuka, karena jika sudah mampu berswasembada beras, berarti produksinya itu dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Kenyataannya ternyata demikian. Bangsa ini memang hampir tidak pernah mengalami kerawanan pangan. Yang sering terjadi adalah rawan daya beli. Pangan ada, yang tidak ada adalah kemampuan untuk membelinya.

Gambaran ini menunjukkan, ada sebagian warga bangsa yang kekurangan dan miskin, memang menjadi problem serius untuk ditangani dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sangat keliru bila semua pihak membiarkannya berlarut-larut. Semua harus sepakat untuk sesegera mungkin menyelesaikannya dengan tuntas.

Mewujudkan hak atas pangan sebagai hak asasi manusia, bukanlah hal yang cukup mudah dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Terlampau banyak rintangan yang perlu dijawab dan diselesaikan. Miskin dan lapar, tidak bisa lagi diselesaikan secara sektoral, tapi butuh penanganan multi-sektor jika kita mencoba ingin mencari solusi terbaiknya.

Sebagai bangsa pejuang, sepatutnya semua pihak bergandeng tangan bersiap diri untuk mulai bergerak menumpas kemiskinan pangan.


*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.

 

Copyright © ANTARA 2022