Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan perlu kajian lingkungan dan kesehatan terkait dampak paparan radiasi terhadap masyarakat yang tinggal di daerah radiasi alami yang tinggi seperti di Mamuju, Sulawesi Barat.

Periset dari Pusat Riset Teknologi Keselamatan Metrologi dan Mutu Nuklir BRIN Eka Djatnika Nugraha mengatakan beberapa populasi di Indonesia seperti wilayah Mamuju terpapar radiasi alami beberapa kali lipat lebih tinggi daripada rata-rata di seluruh dunia, yaitu sekitar 2,4 milisievert per tahun.

Baca juga: Bapeten dan Badan Pengawas AS kerja sama bidang keselamatan nuklir

"Situasi ini dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi masyarakat karena paparan eksternal dan internal yang kronis," kata Eka dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Eka menuturkan Mamuju sebagai daerah radiasi latar alam yang tinggi karena tingginya konsentrasi uranium dan torium dalam batuan dan tanah.

Oleh karena itu, ia mengatakan studi kesehatan populasi yang tinggal di daerah radiasi alami yang tinggi dapat berfungsi sebagai sumber informasi potensial tentang efek paparan dosis rendah kronis.

Baca juga: BRIN: Mayoritas pelabuhan Indonesia belum terpasang pemantau radiasi

Untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang efek kesehatan akibat paparan radiasi dosis rendah kronis, Eka menuturkan perlu dilakukan pengkajian lingkungan yang komprehensif terhadap situasi paparan yang ada di daerah radiasi alam tinggi.

Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN Rohadi Awaludin mengatakan penting untuk mengetahui dan memahami keamanan dan proteksi dari teknologi radiasi nuklir terutama bagi setiap orang yang terlibat maupun yang bersinggungan dengan hal tersebut.

Baca juga: Indonesia targetkan punya prototipe sistem pemantauan radiasi 2024

"Teknologi radiasi nuklir termasuk ionisasi sudah dipakai dan diaplikasikan ke berbagai bidang termasuk industri dan kesehatan, makanan, dan lain-lain. Teknologi tersebut menjadi jawaban dari permasalahan yang kita miliki, namun juga ada risiko yang harus menjadi perhatian dari teknologi tersebut," ujarnya.

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022