Jakarta (ANTARA) - Akhir-akhir ini banjir terjadi di mana-mana, padahal belum memasuki bulan Desember dan Januari, yang orang Jawa bilang Desember merupakan "gede-gedene sumber" (besar-besarnya sumber), sementara Januari, sering diyakini sebagai "hujan terjadi sehari-hari".

Mencermati sejumlah berita di Tanah Air, tentang warga yang terdampak banjir, sungguh menyentuh hati nurani. Mengapa hal itu terjadi berulang-ulang dalam kehidupan manusia? Adakah itu terjadi karena tata rencana pembangunan kota yang salah?

Mencermati kabar tentang fenomena banjir di sejumlah kota itu bisa jadi salah satu penyebabnya karena pembangunan kota yang tidak terencana dengan baik. Pembangunan kota seringkali kurang mempertimbangkan aspek kependudukan dan lingkungan hidup (KLH).

Di samping memang, disebabkan juga oleh perilaku manusia sendiri yang buruk, seperti membabat hutan dan kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Untuk itu, menarik direnungkan filosofi penting di balik peringatan Hari Perencanaan Kota Dunia (HPKD), yang ditetapkan dan diperingati pada 8 November.

Mengutip laman American Planning Association (APA), tema HPKD 2022 adalah "Think Global, Plan Local". Sebuah tema yang mengingatkan akan pentingnya perencanaan pembangunan kota berbasis lokalitas, tetapi terbingkai dalam pola pikir global. Bagi saya, ini mengingatkan hal kecil yang pernah saya usulkan dalam karya tulis tingkat nasional 2005 silam.

Kala itu, saya pernah menggagas bagaimana pembangunan kota yang memanfaatkan "pendekatan multidimensi" dalam ajang Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) tingkat Nasional dengan judul: "Strategi Pembangunan Kota Berbasis KLH untuk Menciptakan Kota yang Indah dan Hijau". Naskah itu ditetapkan sebagai pemenang pertama. Presentasi naskah dipertahankan dan dipertanggungjawabkan di depan tim juri, yang diketuai oleh Prof. Dr. Lisna Lubis dari Universitas Indonesia.

Gagasan ini tergolong sederhana, bermula dari hal-hal yang telah dilakukan oleh warga atau masyarakat Indonesia lintas kota (tak jarang berbasis lokalitas). Dari sejumlah kebiasaan warga itu bisa dirancang sebuah model tertentu untuk diimplementasikan oleh masing-masing pemerintah daerah, sesuai dengan potensi lokalitas berbasis kesadaran kependudukan dan lingkungan hidup (KLH).

Pendekatan dimensional

Perencanaan pembangunan kota mestinya mempertimbangkan ragam dimensi pendekatan pembangunan, sehingga tercipta kota yang ramah alam dan penduduk. Tema peringatan HPKD tahun 2022 ini tentu bisa mengajak kita melihat kembali perlunya peran profesi perencanaan kota untuk diimplementasikan, sehingga kota sebagai citra komunitas kehidupan yang ideal dan bervisi berkelanjutan bisa terwujud.

Mengapa? Sebuah realitas yang tak terpungkiri kini adalah bagaimana kota telah menjadi wilayah yang semakin padat dari tahun ke tahun. Saat ini, dari berbagai sumber disinyalir bahwa 55 persen populasi dunia tinggal di daerah perkotaan, sebuah proporsi yang diperkirakan akan terus meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2050.

Di sinilah, dibutuhkan sebuah perencanaan yang tepat bagi pembangunan perkotaan agar sebagai tempat tinggal berkelanjutan, ia tak menjelma "musuh" yang menakutkan. Hemat saya, dalam perencanaan tata kota itu penting mempertimbangkan sejumlah pendekatan berikut: lingkungan, kependudukan, politik, edukatif, religius, budaya, dan holistik. Hakikat pendekatan itu sendiri adalah bagaimana cara pandang pejabat daerah dari berbagai sudut bidang untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasinya.


Kota layak huni

Dalam mewujudkan kota (daerah) ideal dan layak huni, maka hal-hal berikut menarik direnungkan.

Pertama, pentingnya pemerintahan daerah yang memahami amanat KLH dalam konteks otonomi daerah. Jika perencanaan dan pembangunan kota mengabaikannya, bisa berdampak buruk, seperti banjir dan pencemaran lingkungan, baik tanah, air, dan udara.

Kedua, perlunya pendidikan KLH yang tidak saja di lembaga pendidikan formal, tetapi juga informal dan nonformal. Integrasi trilogi pendidikan yang membutuhkan kebijakan terpadu, komunikatif, dan berketeladanan. Bukankah pendidikan merupakan pilar mendasar dalam pembangunan sumber daya manusia? Dalam konteks ini, diharapkan lahir manusia yang berkarakter terbaik dalam bingkai tata ruang kota peduli KLH.

Ketiga, urgensinya pemanfaatan sejumlah pendekatan pembangunan kota yang optimal. Mengapa sejumlah pendekatan perlu dilakukan? Karena pembangunan kota itu bersifat makro dan komprehensif, yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat luas, maka cara pandang dari berbagai aspek bidang hidup kemanusiaan, semua yang terkait, penting diperhatikan.

Keempat, dibutuhkan adanya kesinambungan program pembangunan kota dari tahun ke tahun berikutnya, dari kepemimpinan sebelumnya, sedang, dan yang akan datang. Seringkali antar pemimpin daerah berlomba mencari "pengakuan" dan mengabaikan kebaikan program sang pendahulu. Keberlanjutan program pembangunan kota bervisi KLH menjadi mutlak dijaga sebaliknya egoisme personal dan politik tertentu perlu dijauhkan.

Kelima, terciptanya penegakan perangkat aturan yuridis yang berwawasan KLH. Sejumlah peraturan dari pusat dan daerah memang rata-rata sudah ada tetapi penegakannya kurang atau belum optimal. Jangan sampai kepentingan sektoral, parsial, dan tidak menyeluruh menekan kepentingan pembangunan kota yang secara makro berdampak panjang bagi keberlangsungan kehidupan berikut ekosistemnya.

Keenam, pentingnya manajemen daerah berwawasan KLH. Pengelolaan demikian merupakan tugas bersama, lintas dinas, dan berorientasi pada kepentingan kemanusiaan dalam totalitas kehidupan warga kota. Manajemen demikian membutuhkan kehadiran dan keteladanan pejabat politik, berikut pejabat birokrasi kita untuk mampu menjalankan pengelolaan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara bersama.

Ketujuh, adanya fasilitas literasi memadai berbasis KLH. Sebagaimana program literasi nasional yang berjalan, yakni pentingnya makna melek kahanan di balik gerakan literasi nasional (GLN), maka kehadiran keenam pilar GLN penting juga diarahkan pada visi pembangunan kota yang bervisi KLH, baik itu gerakan literasi baca tulis, sains, numerasi, digital, finansial, dan budaya.

Kedelapan, perlunya pimpinan dan pejabat daerah agar peduli KLH. Kehidupan itu sesungguhnya hanya realitas imaji pembiasaan yang menjelma kebudayaan. Realisasinya jelas, membutuhkan keteladanan. Maka, jika daerah bermimpi mewujudkan pembangunan kota layak huni, sang pemimpin berikut pejabat birokrasi terkait, mutlak penting menunjukkan keteladanannya. Baik secara verbal maupun nonverbal, pemikiran, sikap, dan perbuatan kepeduliannya atas terwujudnya pembangunan kota yang ideal, indah terkelola, dan berkemanusiaan dalam keadaban.

Kesembilan, adanya program penggalian budaya berpotensi KLH. Mitos dan budaya yang berkembang di masyarakat perlu dimanfaatkan keberadaannya sebagai suplemen. Tradisi masyarakat, seperti persembahan pada Dewi Sri, upacara panen, bersih desa, persembahan bumi, dan mitos "pohon besar berpenghuni" perlu dipertimbangkan sebagai sarana harmonisasi sosial dan spiritual.

Kesepuluh, adanya perilaku dan sikap masyarakat bervisi KLH. Sebaik apa pun perencanaan pembangunan kota tanpa diiringi perilaku dan sikap baik warganya, tidak akan berhasil optimal. Masyarakat dalam konteks pembangunan kota layak huni penting mengubah perilaku diri dan sosialnya, agar lebih peduli kepada alam sekitar. Bukankah alam semesta adalah sahabat dan guru terjujur dalam kehidupan nyata? Apa yang kita perlakukan kepadanya, itulah yang akan kita terima.

Kesebelas, pentingnya pembudayaan temuan masyarakat berwawasan KLH. Kreativitas dan temuan teknologi masyarakat macam Wardju, si penemu alat pengurang polusi kendaraan bermotor dari Surabaya atau Pak Minto, seorang penemu kompor tenaga Surya dari Madiun perlu dibudayakan. Mereka bisa menjadi inspirator yang menggerakkan. Contoh keteladanan masyarakat yang baik.

Kedua belas, pengendalian dan pengawasan dunia industri agar peka KLH. Pembangunan ekonomi perkotaan dalam berbagai wujudnya, tak boleh mengabaikan pesan kemanusiaan dan lingkungan sekitar. Sistem birokrasi kita telah mengatur, tinggal meningkatkan implementasi yang lebih baik. Birokrat pelaksana diharapkan tidak koruptif, sehingga bisa menjadi benteng terwujudnya industrialisasi dan ekonomisasi berorientasi KLH.

Terwujudnya harmonisasi kehidupan kota dalam segala bidang adalah impian bersama. Karena itu, semua pihak penting memahami kompleksitas pendekatan pengiring dalam mewujudkan pembangunan kota harmoni, ideal dan layak huni.

Beragam pendekatan berbasis lingkungan ini berpesan bahwa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan kota (daerah) wajib dibingkai dengan garis kepedulian lingkungan dan kependudukan. Pendekatan politik, misalnya, akan berwujud pada bagaimana cara pandang dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota itu membutuhkan kebijakan politik yang bervisi KLH. Begitu selanjutnya jika dikaitkan dengan pendekatan edukatif hingga ekonomis.

Semoga dengan peringatan HPKD, yang jatuh pada tanggal 8 November ini semakin menyentuh kesadaran semua pihak. Di Indonesia sendiri, peringatan HPKD 2022, puncaknya telah dilaksanakan akhir bulan Oktober di Jakarta oleh Kementerian PUPR yang mengangkat tema "Pentingnya Kolaborasi Multi-sektor dan Multi-aktor untuk Penanganan Kawasan Kumuh". Tema ini diangkat sebagai bentuk komitmen dalam mewujudkan pembangunan perkotaan dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan.

Kementerian PUPR telah dan terus berupaya melakukan penanganan permukiman kumuh, penyediaan sarana prasarana dasar air bersih, sanitasi, persampahan, serta rumah layak huni. Upaya yang dilakukan kementerian itupun telah berkolaborasi dengan beragam pemangku kepentingan yang mewakili unsur pentahelix, yakni pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, swasta, media, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat. Semoga.

*) Dr Sutejo, MHum adalah budayawan, pemenang pertama LKTI PKLH Nasional 2005, dan dosen STKIP PGRI Ponorogo
 
 

Copyright © ANTARA 2022