Jakarta (ANTARA) - Lembaga think-tank yang bergerak di bidang energi dan lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang fenomena krisis iklim mulai terlihat nyata di mana Indonesia yang seharusnya musim kemarau tetapi hujan dan sebaliknya.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan fenomena krisis iklim terjadi juga di belahan bumi lain pada pertengahan tahun ini, seperti gelombang panas di India dan Pakistan, kemudian Eropa dan Amerika Serikat.

"Tapi juga waktu yang tidak terlalu lama Pakistan mengalami hujan deras yang menyebabkan sepertiga dari negara itu terendam banjir selama berminggu-minggu dan dampaknya sangat luar biasa," ujarnya dalam rilis laporan Climate Transparency Report 2022 yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Fabby mengatakan berbagai fenomena itu adalah sekelumit dari manifestasi krisis iklim yang dihadapi oleh manusia. Kondisi itu disebabkan karena kenaikan temperatur global yang baru mencapai 1,1 derajat.

Apabila negara-negara di seluruh dunia tidak melakukan upaya serius untuk mengatasi masalah itu, maka temperatur planet bumi akan naik jauh lebih tinggi.

Baca juga: Wapres: RI terus lakukan langkah konkret atasi krisis iklim

Baca juga: Sri Mulyani: Perubahan iklim ancaman global yang sangat serius


"Kabar yang baik adalah negara-negara sudah mulai memahami konsekuensi dari krisis iklim. Oleh karena itu di COP26 yang lalu, sebelum COP26 dan setelah COP26, banyak negara yang menyampaikan aksi target penurunan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi, termasuk Indonesia yang baru saja meluncurkan NDC," kata Fabby.

Pada September 2022, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) dengan meningkatkan pengurangan emisi dari sebelumnya 29 persen menjadi 31,89 persen dengan bantuan sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional.

"Kalau dilihat walaupun ada kenaikan komitmen atau mungkin lebih kepada janji untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi, saat ini kita masih mengarah kepada kalau seluruh target NDC yang ada itu tercapai kita masih mengarah pada target 2,5 derajat kenaikan temperatur," terangnya.

Fabby menyampaikan angka itu jauh di atas apa yang disampaikan para ahli sebagai batas. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang yang terakhir menyampaikan kenaikan temperatur global harus dibatasi maksimal 1,5 derajat Celcius.

Apabila penurunan tingkat kenaikan suhu di bawah 2 derajat, maka konsekuensi dan risikonya masih jauh lebih tinggi dan dampak kerugian sosial dan ekonomi dari krisis iklim itu akan jauh lebih besar.

"Oleh karena itu, setiap negara diminta untuk memangkas emisi gas rumah kaca," imbuh Fabby.

Lebih lanjut ia mengatakan negara-negara yang tergabung di dalam G20 bertanggung jawab terhadap terhadap 85 persen emisi gas rumah kaca dunia, sehingga mereka harus mengambil peran yang lebih besar dalam memangkas emisi gas rumah kaca secara drastis.

Baca juga: Indonesia berkesempatan melakukan aksi iklim ambisius

Baca juga: PBB tekankan pentingnya restorasi mangrove untuk atasi krisis iklim

 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022