saat ini, sebagian besar sumber energi di Indonesia masih dihasilkan dari bahan bakar fosil yakni batu bara, minyak, dan gas, yang mencapai lebih dari 80 persen dalam bauran energi primer
Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR Dyah Roro Esti memaparkan manfaat dekarbonisasi di sektor energi saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties ke-27 (KTT COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir.

Menurut Roro Esti, Indonesia sangat beruntung karena merupakan negara yang kaya akan sumber daya, baik bahan bakar fosil maupun energi baru dan terbarukan.

"Namun saat ini, sebagian besar sumber energi di Indonesia masih dihasilkan dari bahan bakar fosil yakni batu bara, minyak, dan gas, yang mencapai lebih dari 80 persen dalam bauran energi primer saat ini," katanya dalam paparannya yang dikutip di Jakarta, Kamis.

Roro Esti menjadi salah satu perwakilan DPR, melalui Kaukus Ekonomi Hijau, untuk turut berpartisipasi dalam forum yang digelar PBB tersebut.

Menurut anggota parlemen milenial ini, komitmen Indonesia untuk transisi energi telah dicontohkan dalam beberapa kesempatan, yang mana Presiden Joko Widodo telah menyebutkan perlunya transisi energi sebagai kewajiban untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan.

Sementara, Menko Perekonomian sekaligus Ketua Sherpa G20 Airlangga Hartarto juga terus mendesak perlunya transisi yang berujung pada pembentukan kelompok kerja transisi energi di G20 untuk meningkatkan kerja sama lintas negara.

Roro Esti menegaskan urgensi untuk melakukan dekarbonisasi sangat tinggi, karena fakta bahwa bahan bakar fosil akan habis seluruhnya dalam 9,5 tahun untuk minyak, 19,9 tahun untuk gas, dan 65 tahun untuk batu bara.

Energy Outlook yang disajikan Dewan Energi Nasional (DEN) telah menggambarkan bahwa permintaan energi akan terus meningkat dari waktu ke waktu yang tidak hanya komitmen negara, tetapi juga proyeksi menjadi negara ekonomi terbesar ke-5 dunia pada 2045.

Roro Esti juga menyampaikan dibutuhkan strategi dekarbonisasi pada sektor energi, di antaranya membuat kerangka kebijakan untuk transisi energi yang selama ini diupayakan melalui RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

Selanjutnya, mengoptimalkan dan memberi insentif pada sumber energi yang lebih bersih, yang dapat membuat energi terbarukan lebih kompetitif di pasar energi, membuat zona-zona khusus yang tersebar di setiap provinsi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan industri hingga penyerapan listrik untuk mengatasi permasalahan oversupply, mempertimbangkan penghapusan penggunaan batu bara secara perlahan, memperhatikan aset terlantar pada sektor yang berbahan bakar fosil, dan menciptakan ekosistem agar kendaraan listrik dapat berkembang dengan lebih baik.

Anggota Komisi VII DPR RI sekaligus Komisioner Low Carbon Development Indonesia (LCDI) ini juga memaparkan rekomendasi LCDI untuk skema transisi yakni, perlu dikurangi intensitas energi sebesar 3,9-6 persen per tahun, yang mana perlu dipertimbangkan penghapusan subsidi untuk bahan bakar fosil dan menerapkan skema penetapan harga karbon dengan harga hingga 40-60 dolar AS/ton.

"Sangat penting bagi kita untuk mengubah narasi seputar dekarbonisasi ekonomi kita dan fokus pada peluang. Pembangunan rendah karbon dapat menciptakan lebih dari 1,8-15,3 juta lapangan kerja, dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6,1-6,5 persen hingga 2050, dapat menyelamatkan 40.000 jiwa melalui pengurangan polusi udara dan air, serta sebagai pengurangan kemiskinan ekstrem," ujarnya.

Secara keseluruhan, Roro Esti memandang bahwa permasalahan energi ini adalah masalah multidisiplin, yang membutuhkan solusi multidisiplin, sehingga perlu ada sinergi di semua sektor.

Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk bersama dan bergotong royong untuk mencapai tujuan besar tersebut.


Baca juga: Siemens Energy-Medco teken MoU dukung produksi energi rendah karbon
Baca juga: Forum menteri sektoral ASEAN sepakati kerja sama netralitas karbon
Baca juga: Mewujudkan dekarbonisasi pelayaran di Indonesia


Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022