Jakarta (ANTARA) - Perang dunia II yang berkecamuk sepanjang 1939 hingga 1945 adalah tragedi kemanusiaan paling mematikan yang dipicu pertentangan dua aliansi militer antara blok Sekutu dan Poros.

Perang itu mengerahkan tak kurang dari 100 juta orang dari berbagai pasukan militer yang diperkuat kemampuan ekonomi, industri, dan ilmiah, hingga menelan sekitar 70 juta korban jiwa, serta menghancurkan ekonomi dunia.

Di satu sisi, krisis besar dunia akibat perang memang menyedihkan. Tapi di sisi lain, membuka kesempatan besar untuk membangun perubahan fundamental pada arsitektur keuangan global dalam memulihkan dampak ekonomi akibat perang.

Pada 1944, Konferensi Bretton Woods mempertemukan para pemimpin dunia untuk saling berdiskusi menata ulang sistem keuangan global sebagai penopang utama menghadapi krisis dunia.

Salah satu capaiannya adalah pembentukan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang turut berperan menopang ekonomi Indonesia saat diterjang badai moneter 1998 dan 2008.

11 Maret 2020, dunia kembali diterpa krisis yang kali ini dipicu pandemi COVID-19. Negara dengan sistem kesehatan yang rapuh dipastikan ambruk seketika, pun mereka yang kuat, saat itu goyah.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyebut sektor kesehatan dunia saat ini belum ditopang pilar utama pendanaan, seperti yang dimiliki sektor ekonomi berupa IMF maupun Bank Dunia.

Keberadaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dibuat hanya untuk menerbitkan peraturan kesehatan secara global di saat terjadi ancaman wabah.

Belajar dari perjalanan sejarah itu, Indonesia tak ingin menyia-nyiakan peluang memimpin G20 tahun ini untuk berdiplomasi menganyam jaring pengaman bagi pandemi di masa depan, lewat dukungan 19 negara yang memengaruhi 90 persen produk nasional bruto dunia, 80 persen total perdagangan dunia, serta dua per tiga penduduk dunia.

Indonesia mengambil momentum dunia ini (pandemi) untuk mengubah sistem arsitektur kesehatan global, seperti pemimpin sebelumnya saat mereka mengubah arsitektur keuangan dunia.

Pandemic Fund

Rangkaian diplomasi Indonesia dalam G20 bidang kesehatan sejak Maret 2022, menghasilkan kesepakatan tentang pentingnya pembentukan pandemic fund atau dana darurat pandemi.

Bagi pemerintah Indonesia, capaian itu sebagai yang tersukses dari empat hasil kesepakatan lainnya, yakni memformalkan Badan Kerja Sama Global Access to COVID-19 Tools Accelerator COVID-19 (ACT), pembentukan jejaring genomik, harmonisasi protokol kesehatan, dan pemerataan akses alat diagnostik, obat-obatan dan vaksin.

Capaian tambahan yang dihasilkan adalah penguatan komitmen global dalam menanggulangi penyakit Tuberkulosis, resistensi antimikroba (AMR), serta pendekatan One Health atau kesehatan terpadu yang diwarisi dari Presidensi G20 sebelumnya.

Pandemic Fund atau yang semula dikenal Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF) merupakan inisiatif Indonesia yang dijalin dari kesepakatan menteri keuangan dan menteri kesehatan negara-negara G20 dalam rangkaian pertemuan G20 Joint Finance and Health Minister Meeting (JFHMM) di Yogyakarta, Selasa (22/6).

Ada dua organisasi internasional yang nanti bertindak sebagai entitas pelaksana dana dari negara-negara G20, yakni Bank Dunia dan WHO untuk membeli kebutuhan alat diagnosa, obat-obatan, dan vaksin.

Kemudian, seluruh kebutuhan itu didistribusikan melalui dukungan badan dunia Global Fund, The Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), dan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI).

Yang terbesar perannya di pandemi adalah GAVI, sebagai badan dunia yang mengurus pembelian dan distribusi vaksin ke seluruh dunia.

GAVI pada awalnya merupakan bagian dari mekanisme FIF yang diinisiasi saat penyelenggaraan G20 Tokyo 2019. Selama pandemi, GAVI telah membantu vaksinasi lebih dari 1 juta anak-anak dan mencegah 600 juta kematian di luar COVID-19.

Selain itu, Global Fund sebagai badan dunia yang fokus pada pengentasan HIV, Malaria, dan Tuberkulosis berperan dalam mengumpulkan dan menginvestasikan uang dalam siklus tiga tahun yang dikenal sebagai replenishment.

Pendekatan tiga tahun diadopsi sejak 2005 untuk memungkinkan pembiayaan yang lebih stabil dan dapat diprediksi bagi negara-negara dalam memastikan kelangsungan program yang berkelanjutan.

Sementara CEPI berperan sebagai entitas pelaksana untuk memajukan upaya kolaboratif antarlembaga kesehatan global dengan menempatkan jaringan yang kuat serta diperlukan untuk menerapkan respons terhadap pandemi.


Pemerataan akses

Diplomasi Indonesia di antara negara G20 berhasil mengumpulkan pendanaan total 1,4 miliar Dolar AS untuk pandemic fund yang berasal dari komitmen 18 institusi global, 15 di antaranya negara anggota G20 dan tiga lembaga filantropi internasional.

Komitmen penggalangan pandemic fund diproyeksikan capaian 12,5 miliar Dolar AS dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Obat-obatan, vaksin dan alat diagnosa merupakan komponen emergency health countermeasure (EHC) yang paling sulit diakses, khususnya negara dengan tingkat ekonomi lemah saat terjadi krisis darurat pandemi.

Capaian pandemic fund dan ACT diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dana pengadaan EHC, sehingga negara-negara miskin bisa memperoleh akses dengan cepat.

WHO telah menyatukan seluruh badan yang terlibat dalam EHC dalam forum informal ACT yang diisi oleh sejumlah badan global, di antaranya, Unicef, Bill and Melinda Gates Foundation, CEPI, GAVI, Global Fund.

ACT dapat memperkuat kolaborasi global yang menyatukan pemerintah, ilmuwan, produsen, bisnis, masyarakat sipil, filantropi dan organisasi kesehatan global untuk mempercepat pengembangan, produksi, dan akses yang merata terhadap pengujian, perawatan dan vaksinasi COVID-19.

Kesepakatan pandemic fund rencananya diresmikan saat agenda Joint Finance G20 and Health Ministers Meeting yang berlangsung di Bali 12--14 November 2022.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022