perubahan peraturan tersebut fokus pada perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual,
Banda Aceh (ANTARA) -
Jumlah kekerasan terhadap anak di Aceh berdasarkan data DP3A Aceh, Kamis (10-11-2022) .ANTARA/Rahmat Fajri
Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Provinsi Aceh kian meresahkan. Hukuman pidana terhadap pelaku selama ini dinilai sejumlah kalangan masih ringan sehingga tidak menjerakan pelaku.

Oleh karena itu, perlu merevisi peraturan. Apalagi perkembangan sosial juga kian dinamis sehingga Qanun Hukum Jinayat yang berlaku di Provinsi Aceh perlu ada penguatan dan penyempurnaan. 

Bertempat di gedung utama DPR Aceh, berbagai elemen masyarakat dan instansi terkait duduk bersama membahas perubahan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR Aceh Saiful Bahri atau Pon Yahya, para wakil rakyat terpanggil segera melakukan perubahan qanun tersebut mengingat tingginya angka pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan.

Sebagai bagian dari Negara Kesatuan RI, Aceh memang memiliki keistimewaan dan kekhususan, salah satunya untuk melaksanakan syariat Islam dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum.

Hukum jinayat (pidana) merupakan bagian dari syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh, yang penerapannya sesuai dengan amanat Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Namun, menurut dia, penerapan Qanun Hukum Jinayat sering menimbulkan sejumlah perdebatan terutama berkenaan dengan bentuk hukuman dan peraturan tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Karena itu DPR Aceh pada tahun 2022 sepakat untuk memperkuat Qanun Hukum Jinayat dengan melakukan perubahan.

Rapat dengar pendapat umum ini bertujuan menyempurnakan substansi rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat dan untuk memenuhi Pasal 22 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, yang antara lain menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis lewat RDPU, sosialisasi, seminar lokakarya, atau diskusi.

DPRA menaruh harapan besar bahwa melalui kegiatan tersebut mampu mendapatkan masukan yang tepat untuk menyempurnakan produk hukum daerah itu.
 

Menjawab persoalan

Menurut Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky, revisi Qanun (Perda) Aceh tentang Hukum Jinayat untuk memperkuat perlindungan anak korban kekerasan seksual di Tanah Rencong.

Pasal-pasal yang dibahas dan diubah berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak.

Sejauh ini Komisi I DPRA telah merampungkan pembahasan perubahan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat tersebut dan sudah dinyatakan final.

Revisi Qanun Hukum Jinayat dilakukan terbatas, hanya untuk memperkuat pasal terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Adapun pasal yang direvisi berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak,  yakni Pasal 33, Pasal 34, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 72.

Selain itu, perubahan peraturan tersebut juga fokus pada perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seperti pelecehan dan pemerkosaan.

Revisi tersebut merupakan realisasi atas komitmen memberi perlindungan anak. Pertama, merumuskan hukuman pemberat bagi pelaku, yang selama ini hukumannya pilihan antara cambuk, denda, dan/atau penjara.

Setelah perubahan qanun disahkan, terhadap pelaku selain akan dicambuk juga dipenjara sehingga bukan lagi bersifat alternatif, melainkan kumulatif. Hak pemulihan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual diharapkan juga dapat berjalan baik.

DPR Aceh menargetkan perubahan qanun tersebut bisa disahkan tahun 2022 sehingga tahun 2023 bisa langsung diberlakukan.

"Kami harap revisi ini bisa menjawab permasalahan hukuman terhadap pelaku, yang selama ini dianggap ringan (vonisnya), bahkan sering diputus bebas," kata Iskandar.

 

Revisi tepat

Revisi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dinilai juga telah mengakomodasi hak pemulihan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan seksual.

LBH Banda Aceh melihat ada niat baik dari revisi Qanun Jinayat, juga menunjukkan keseriusan menghukum pelaku sekaligus memulihkan korban.

Direktur LBH Banda Aceh Syahrul menjelaskan sebelum dilakukan perubahan, Qanun Jinayat hanya mengatur bagaimana memberikan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual dan sanksi ini belum cukup memberikan efek jera kepada pelanggar.

Dalam draf revisi saat ini dimasukkan tentang pemberatan hukuman hampir 10 kali lipat terhadap pelaku serta mengatur pemulihan terhadap korban.

Setelah revisi qanun disahkan maka setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan menerima hak restitusi serta mendapatan pendampingan pemulihan psikis dan nonpsikis.

 Oleh karena itu, revisi Qanun Jinayat kali ini dinilai lebih maju, baik dalam upaya pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan seksual maupun pemulihan korban.

Qanun Jinayat ini sesungguhnya bagian kecil dari perlindungan anak karena di dalamnya tidak mengatur tentang langkah pencegahan terjadinya kasus.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, sejak Januari sampai September 2022, korban kekerasan terhadap anak dari seluruh kabupaten/kota di Aceh mencapai 443 kasus.

Periode Januari sampai hari ini masih tinggi kasus kekerasan di Aceh, mulai dari pelecehan, sodomi, pemerkosaan, inses, dan lainnya. Kasus paling paling tinggi adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Mitigasi

Mitigasi kekerasan berbasis gender dapat dilakukan dengan pendidikan dan kebijakan pemerintah melalui keberpihakan pada terciptanya keadilan bagi perempuan dan laki-laki.

Salah satu langkah awal untuk mitigasi kekerasan seksual adalah pendidikan yang dimulai dari keluarga.

“Pendidikan menjadi langkah awal mengubah sesuatu. Yang paling utama adalah pendidikan keluarga di rumah kemudian sekolah formal dan lingkungan, bisa berupa agama atau umum," kata kata Presidium Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman.

Selain pendidikan, pemerintah dan pemangku kepentingan juga berperan dengan mengubah kebijakan-kebijakan yang dirasakan masih diskriminatif dan bias gender.

Regulasi tentang kesetaraan gender harus ada, baik itu berbentuk qanun maupun surat edaran gubernur, bupati, maupun wali kota. Segala bentuk kebijakan yang diskriminatif harus dihapuskan.

Revisi qanun yang memberi hukuman lebih berat tersebut diharapkan bakal membuat gentar pelaku. Juga memberi perlindungan lebih besar bagi anak dan perempuan di Tanah Rencong.




Editor: Achmad Zaenal M
 

 

 

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022