Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zaenur Rohman berpendapat harus ada perbaikan mendasar yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) untuk memberantas tindak pidana korupsi terkait dengan suap pengurusan perkara.

"Tanpa perubahan mendasar, saya percaya persoalan ini (sua pengurusan perkara) akan terulang di masa depan," ujar Zaenur saat menjadi narasumber dalam diskusi Radio Idola Semarang bertajuk "Hakim Agung Kembali Jadi Tersangka Korupsi, Langkah Apa yang Mesti Dilakukan untuk Memperbaiki?" sebagaimana dipantau di Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut, ia menyampaikan sejumlah perubahan mendasar yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung itu di antaranya adalah melakukan perbaikan rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan di tubuh internal mereka.

Terkait dengan pembinaan, Zaenur mengatakan Mahkamah Agung harus mampu menghilangkan budaya setor serta budaya menerima pemberian atau gratifikasi dalam mengadili suatu perkara. Kemudian dari sisi pengawasan, menurut dia, Mahkamah Agung harus bersedia menerima pengawasan dari pihak eksternal yang telah dijamin oleh UUD NRI 1945, yakni Komisi Yudisial (KY).

Baca juga: Akademisi sebut perlu revolusi mental berantas korupsi di MA

Baca juga: Wakil Ketua DPR minta ada perbaikan internal MA


Sejauh ini, Zaenur menilai Mahkamah Agung "alergi" terhadap pengawasan dari Komisi Yudisial karena kerap mengabaikan rekomendasi yang diberikan.

"MA selama ini alergi dengan pengawasan dari KY. Mengapa saya katakan alergi? Karena nyatanya, MA sering mengabaikan rekomendasi dari KY, khususnya dalam penegakan kode etik. Itu menunjukkan bahwa ada resistensi dari MA terhadap pengawasan dari pihak eksternal," ucapnya.

Dengan sikap yang seperti itu, lanjut dia, tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang sangat besar di badan peradilan Tanah Air ini.

Baca juga: KPK benarkan tetapkan Hakim Agung Gazalba Saleh sebagai tersangka

Dalam kesempatan yang sama, Zaenur menekankan bahwa suap pengurusan dan jual beli perkara di badan peradilan harus segera diberantas karena hal tersebut merupakan masalah besar yang dapat merusak penegakan hukum di Indonesia.

"Orang juga tidak lagi percaya pada hukum karena yang punya uang dan mau menyuap itulah yang bisa membeli hukum sehingga tidak pernah hadir keadilan," tambah dia.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022