Jakarta (ANTARA) - “Bersama-sama Mencegah Resistansi Antimikroba (Preventing antimicrobial resistance together)” merupakan tema yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dalam rangka World Antimicrobial Awareness Week atau Pekan Kepedulian Antimikroba Sedunia Tahun 2022.

World Antimicrobial Awareness Week atau biasa disingkat WAAW diperingati setiap tahun pada 18-24 November sejak tahun 2015.

WAAW merupakan kampanye global untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antimikroba, baik untuk masyarakat umum, petugas kesehatan, maupun pemangku kebijakan. Dengan kampanye agresif diharapkan dapat mencegah peningkatan dan penyebaran resistensi antimikroba.

Banyak yang kemudian bertanya, apa itu resistensi antimikroba? Antimikroba meliputi antibiotik, antiviral, antijamur, dan antiparasit. Resistansi antimikroba diartikan sebagai kekebalan terhadap keempat jenis antimikroba tersebut, yaitu hilangnya kemampuan antibiotik untuk membunuh bakteri, antiviral untuk membunuh virus, antijamur untuk membunuh jamur, dan antiparasit untuk membunuh parasit.

Di antara keempat jenis resistensi tersebut, yang paling sering terjadi adalah resistensi antibiotik, yaitu antibiotik kehilangan kemampuannya untuk membunuh atau mengeradikasi bakteri dalam dosis normal.

Dengan demikian, pasien yang terinfeksi oleh bakteri yang resisten akan membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama, biaya pengobatan yang lebih tinggi, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Bagaimana resistensi antibiotik dapat terjadi? Pada keadaan normal, seseorang yang sakit karena infeksi bakteri, jika diberikan terapi antibiotik yang sesuai akan menyebabkan bakteri penyebab mati dan kondisi klinis pasien akan membaik.

Namun pada kasus resistensi, antibiotik tidak mampu membunuh seluruh bakteri penyebab, atau terjadi tekanan selektif, yaitu sebagian bakteri akan tetap bertahan hidup dan memperbanyak diri kembali.

​​Ada beberapa cara atau mekanisme bakteri dapat menjadi resisten atau kebal terhadap antibiotik. Beberapa di antaranya, yaitu dengan memproduksi enzim yang menginaktifkan zat aktif antibiotik, bakteri mengubah struktur membran selnya sehingga antibiotik tidak dapat masuk, atau dapat juga dengan membentuk semacam pompa yang mengeluarkan antibiotik yang masuk ke dalam sel.

​​Selain dari faktor bakteri, kejadian resistensi antibiotik diperparah oleh penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, termasuk konsumsi antibiotik yang tidak sesuai indikasi (bukan karena bakteri), dosis dan lama pemberian (durasi) yang tidak sesuai (dosis terlalu rendah, durasi terlalu pendek, dosis terlalu tinggi, atau durasi terlalu panjang).

Apakah resistensi antibiotik berbahaya?
Sebuah penelitian ilmiah melaporkan bahwa terdapat 4,95 juta kematian terkait resistensi antibiotik di seluruh dunia pada tahun 2019, dengan infeksi saluran napas bawah sebagai penyebab kematian terbanyak, yaitu lebih dari 1,5 juta kasus.

Enam bakteri patogen resisten terbanyak penyebab kematian pada pasien infeksi, yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Acinetobacter baumannii, dan Pseudomonas aeruginosa.

Masalah kesehatan terkait resistensi antibiotik dapat disetarakan dengan gabungan dari kasus influenza, tuberkulosis, dan HIV/AIDS.

Penggunaan antibiotik secara berlebihan juga dapat menurunkan jumlah bakteri baik dalam usus dan diganti oleh bakteri Clostridium difficile penghasil toksin yang menyebabkan diare berdarah.

Badan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) melaporkan jumlah kematian akibat diare oleh Clostridium difficile mencapai 48.000 kasus.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa seseorang yang mengalami infeksi oleh bakteri yang resistensi terhadap antibiotik menyebabkan infeksi menjadi sulit diobati, sehingga akan menjalani perawatan yang lebih lama yang secara langsung akan berkaitan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Perawatan yang lama di rumah sakit dapat pula meningkatkan risiko perburukan dan kematian.
Selain dampak langsung, infeksi oleh bakteri yang resisten juga menyebabkan dampak tidak langsung, terutama dari sisi ekonomi.

Selama perawatan, pasien dan keluarga yang harus merawat mengalami penurunan produktivitas yang pada akhirnya memberikan tekanan pada level keluarga hingga negara karena menanggung biaya langsung maupun tidak langsung tersebut.

Di samping itu, semakin tinggi kasus infeksi oleh bakteri resisten ini akan menimbulkan tekanan pula bagi institusi kesehatan, termasuk rumah sakit untuk menyediakan sarana dan prasarana yang optimal untuk perawatan pasien dan menyiapkan tenaga kesehatan yang lebih handal untuk merawat pasien tersebut.

Biaya yang digunakan untuk kedua hal itu seharusnya dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit-penyakit lain yang bersifat preventif daripada kuratif.

Pada kasus tertentu, infeksi dapat teratasi, namun bakteri di dalam tubuh pasien menetap dan menjadi karier yang berpotensi menjadi sumber penularan bagi orang lain.


Cara mencegah

Resistansi antibiotik adalah sebuah keniscayaan, kejadian yang tidak dapat dicegah. Penemuan antibiotik baru hingga saat ini tidak dapat menandingi kecepatan kejadian resistensi.

Upaya yang dapat dilakukan adalah memperlambat dan mencegah penyebarannya.

Menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), seperti menjaga kebersihan diri dan lingkungan, praktik mencuci tangan dengan benar, melakukan vaksinasi, mengonsumsi makanan bergizi, serta juga melakukan hubungan seksual dengan aman diharapkan dapat mencegah agar kita terhindar dari infeksi, sehingga mengurangi penggunaan antibiotik.

Apabila terdapat demam yang memanjang atau tidak membaik dengan obat penurun demam, konsultasikan ke dokter untuk mendapatkan informasi mengenai diagnosis dan terapi yang tepat.

Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan mikrobiologi diperlukan untuk mengetahui etiologi atau penyebab infeksi. Demam tidak selalu disebabkan oleh infeksi.

Perlu diingat bahwa batuk dan pilek sebagian besar disebabkan oleh virus yang tidak dapat disembuhkan dengan antibiotik.

Hindari membeli antibiotik tanpa resep dokter, karena antibiotik memiliki spektrum kerja yang berbeda. Artinya antibiotik tertentu hanya dapat membunuh bakteri tertentu pula. Ikuti juga aturan penggunaan antibiotik sesuai dengan resep dokter, termasuk dosis dan durasi/lama penggunaannya.

Saat ini penggunaan antibiotik juga marak digunakan di bidang pertanian dan peternakan. Hal tersebut tentu saja berdampak pada kecepatan penyebaran bakteri resisten melalui makanan yang kita konsumsi.

Maka kebijakan penggunaan antibiotik di luar bidang kesehatan juga perlu mendapatkan perhatian khusus.

Bijak dalam menggunakan antibiotik juga berlaku untuk antimikroba yang lain, yaitu antijamur, antivirus, dan antiparasit.

Kerja berat ini tidak mungkin dapat diselesaikan oleh satu orang atau profesi tertentu saja, melainkan membutuhkan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat.

Jadi mari berjuang bersama-sama untuk memperlambat kejadian resistensi antimikroba dan mencegah penyebarannya.


*) dr. Resti Hardianti Lestari, dr. Indah Puspita Sari, dan dr. Aiman Idrus Alatas adalah peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.


 

Copyright © ANTARA 2022