Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat yang menamakan dirinya Pelaku Bisnis Sub-sektor Angkutan Laut Nasional secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang Pelayaran yang kini dibahas antara pemerintah dengan Komisi V DPR RI. "Kami menolak karena RUU itu belum menampung aspirasi pelaku bisnis. Bahkan kenyataannya, tidak mengakomodasi pasal 33 khususnya ayat (2) UUD 1945," kata Ketua Umum APBMI, Taufik Siregar yang mewakili sekitar 15 asosiasi terkait di Jakarta, Jumat. Dicontohkannya, pasal 23 pada RUU itu jelas mengisyaratkan bahwa perusahaan bongkar muat akan dihabisi karena ternyata perusahaan pelayaran dibolehkan ikut menjalankan usaha bongkar muat. "Artinya, perusahaan pelayaran akan menguasai hulu-hilir bisnis ini. Perusahaan bongkar muat anggota kami sudah bersiap mati dan memPHK seluruh karyawan kami," kata Taufik. Oleh karena itu, mereka mendesak kepada DPR-RI dan Pemerintah untuk menunda pengesahan RUU Pelayaran tersebut menjadi Undang-Undang. Mereka juga menyatakan kesiapannya untuk menyempurnakan RUU Pelayaran menjadi RUU Pelayaran Niaga, RUU Kepelabuhanan dan RUU Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah melaksanakan secara konsekuen Inpres 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran sesegera mungkin dengan peraturan-peraturan pendukungnya. Tidak hanya perusahaan bongkar muat, menurut Ketua Asoasiasi Perusahaan Keagenan Pelayaran Nasional (ISAA), Syariful Lubis menegaskan, perusahaan keagenan juga siap-siap menghadapi "maut" jika RUU itu diundangkan. "Pada pasal 10 ayat 4, disebutkan bahwa perusahaan angkutan laut juga dibolehkan melakukan usaha keagenan. Ini artinya, kami juga akan mati karena perusahaan pelayaran tak akan lagi membutuhkan kami," kata Lubis. Menanggapi hal itu, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menegaskan, semangat RUU Pelayaran yang baru itu, justru anti-monopoli. "Apa dasarnya kok dibilang monopoli, justru RUU ini membawa perubahan terhadap seluruh iklim bisnisnya," katanya. "Kami juga tak mungkin menarik kembali RUU Pelayaran dari DPR dan hanya bisa memastikan segala masukan mereka akan dibahas dalam Daftar Infentarisasi Masalah atau DIM," kata Hatta lagi. Terhadap kekhawatiran dan penilaian bahwa RUU Pelayaran itu bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 33 (2), Hatta menegaskan, tak perlu kuatir terlalu dini sebab jika memang bertentangan dengan konstitusi seperti UUD 1945, ada mahkamah konstitusi yang siap mengoreksinya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006