Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mendorong penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan yang dihadapi oleh perempuan pembela HAM melalui manual perlindungan keamanan perempuan pembela HAM Indonesia yang digagas Komnas Perempuan.

"Selama ini nyaris tidak diselesaikan melalui jalur hukum yang berkeadilan melalui proses yang transparan, terbuka dan imparsial, sehingga ini diharapkan bisa menghapuskan impunitas terhadap faktor-faktor kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM," katanya dalam webinar memperingati hari Perempuan Pembela HAM dengan tema "Merajut Kerangka Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM" yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan situasi lain yang menjadi dasar adanya manual perlindungan terhadap perempuan pembela HAM yang juga menjadi resolusi Perserikatan  Bangsa-Bangsa (PBB), adalah minimnya pelaporan kasus terhadap perempuan, karena situasi berlapis yang harus dihadapi dibandingkan dengan laki-laki.

Baca juga: Komnas HAM sebut sepanjang 2020 terdapat 19 kasus aduan pembela HAM

“Termasuk ancaman berlapis yang akan mereka hadapi ketika mereka melaporkan, juga stigma yang melekat bagi perempuan pembela HAM,” ucapnya.

Selama tahun 2020, Komnas HAM menerima sekitar 19 pengaduan terkait dengan perkara kekerasan terhadap pembela HAM, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, ia melihat masih banyak nama yang tidak tercatat di luar laporan yang masuk kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Ia berharap manual dari Komnas Perempuan bisa menjadi instrumen pendukung atau penguat akses atas keadilan bagi perempuan pembela HAM yang selama ini masih tidak berpihak.

“Selain dari perspektif atau paradigma penegakan HAM terhadap kasus-kasus pembela HAM perempuan yang masih tidak berpihak, juga dukungan dari pemerintah, kemudian lingkungan sekitar yang masih sangat patriarki, sehingga juga mempengaruhi akses atas keadilan bagi perempuan pembela HAM yang belum sepenuhnya terpenuhi,” ucap Anis.

Anis berharap dengan adanya manual ini bisa meminimalisasi kerentanan risiko yang dihadapi oleh perempuan pembela HAM, karena minimnya akses informasi agar bisa menjadi sumber pengetahuan di semua lini.

Baca juga: Ketua Komnas HAM sebut persoalan HAM tidak hanya masalah hukum

Baca juga: Perwakilan korban Kanjuruhan datangi Komnas HAM


“Mestinya manual ini digunakan oleh aparat penegak hukum, pemerintah pusat, daerah dan lembaga negara, termasuk pemerintah di tingkat paling bawah yaitu desa, karena organisasi perempuan juga banyak memiliki komunitas di tingkat basis yang aksesnya juga sangat terbatas terhadap pengetahuan pembela HAM,” ujarnya.

Melalui manual yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan ini, Anis ingin mendorong penguatan pengakuan negara terhadap perempuan pembela HAM yang secara nyata berkontribusi pada upaya-upaya kemajuan HAM dan penegakan HAM terhadap perempuan di Indonesia. "Karena, sampai saat ini pengakuan terhadap perempuan pembela HAM masih sangat minim, baik di ranah internasional, regional maupun di Indonesia," ujarnya.

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022