Samarinda, (ANTARA News) - Pengamat masalah lingkungan dan kehutanan Kalimantan Timur menilai bahwa Indonesia selalu "dihantui" oleh ancaman kebakaran hutan/lahan setiap musim kemarau, hal itu terjadi akibat daya tahan terhadap ancaman api sangat lemah akibat selama ini diekploitasi secara tidak terkendali. Pengamat lingkungan dan kehutanan Kaltim, Dr. Ir Abubakar Lahjie, M Sc di Samarinda, Sabtu menjelaskan bahwa daya tahan hutan di Indonesia sangat lemah karena akibat esploitasi tidak terkendali itu menyebabkan hutan kini banyak menyediakan "bahan bakar potensial" berupa semak-semak. "Eksploitasi hutan selama ini, sangat tidak ramah lingkungan, sehingga sebagian besar hutan di Indonesia adalah hutan primer bukan hutan alam. Padahal hutan primer yang sebagian merupakan kawasan semak sangat rawan terhadap bahaya api saat kemarau panjang, mengingat kelembabannya yang rendah," katanya. Sebaliknya, apabila kerapatan pohon masih bagus, maka meskipun kemarau maka kelembaban lapisan bawah masih bagus sehingga memiliki ketahanan dari bahaya api saat kemarau panjang. Akibat mengejar keuntungan, kata dosen di Universitas Mulawarman Samarinda, para pengusaha perhutanan membabat pohon dalam satu hektare bisa mencapai 60 persen yang seharusnya hanya 20 persen. Hal itu yang membuat ketahanan hutan tropis basah di Indonesia sangat rawan terhadap bahaya api. Padahal ketika pemerintahan Orba, pengelolaan kehutanan itu sudah sangat bagus, termasuk adanya konsep TPTI (tebang tanam pilih Indonesia) sehingga penembangan pohon sangat ketat sesuai dengan kretaria yang layak dibabat. "Pembabatan tanpa kendali kian menjadi-jadi saat awal reformasi bergulir, bahkan koperasi yang tidak memiliki pengelaman mengelola hutan pun mendapat kewenangan membabat hutan sehingga teknis lingkungan diabaikan," katanya. Padahal apabila hutan alam/primer terbakar, maka diperkirakan butuh waktu 50-100 tahun untuk mengembalikan kondisinya. Sedangkan apabila hutan sekunder/HTI (hutan tanam industri) paling tidak membutuhkan waktu 30-50 tahun. Terkait masalah itu, ia menilai bahwa dengan kondisi seperti itu maka yang bisa dilakukan, yakni pemerintah mempertahankan kondisi hutan yang sekarang serta lebih mengintensifkan rehabilitasi dan reboisasi. Mengenai ancaman kebakaran hutan/lahan selama April sampai September 2006 yang diperkirakan BMG terjadi kemarau, salah-satunya dengan benar-benar mengawasi perusahaan perkebunan agar dalam melakukan "land clearing" dengan dengan sistem pembakaran. Ia menjelaskan kebakaran hutan/lahan itu, bukan saja menimbulkan kerugian secara ekonomis (banyak tanaman dan pohon yang rusak) namun juga secara lingkungan telah menyebabkan gangguan keseimbangan ekosistem, terbukti kebakaran hutan 1998 menyebabkan indeks serangga turun drastis di Bukit Soeharto. Lembaga Khusus Sementara itu, mantan Kepala Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) Kaltim, Awang Faroek Ishak mengusulkan agar pemerintah pusat membentuk lembaga khusus dalam menangani bencana kebakaran hutan/lahan. "Hal itu sudah sejak lama saya usulkan, jadi harus ada lembaga khusus menangani masalah kebakaran hutan/lahan ini karena dalam beberapa kejadian kasus ini dinyatakan sebagai bencana nasional yang juga dirasakan negara lain akibat ekspor kabut asap," kata Awang yang kini menjadi Bupati Kutai Timur 2006-2011. Mantan anggota DPR-RI yang juga dikenal salah satu "bidan" UU Lingkungan Hidup itu menjelaskan bahwa lembaga khusus itu cukup strategis dalam menangani bencana mengingat apabila hanya mengharapkan peran dari Satkornas dan Satkorlak maka penanganannya bersifat insendentil. "Dengan lemahnya daya ketahanan hutan kita terhadap bahaya api, terbukti setiap kemarau selalu tekena bencana kebakaran. Artinya, masalah bencana kebakaran hutan/lahan bukan bersifat insendentil lagi namun bencana rutin setiap tahun jadi perlu ada lembaga khusus yang bertanggung jawab terhadap masalah ini," katanya. Meskipun hutan di Indonesia rutin terbakar setiap tahun, namun terparah tahun 1982-1983 yang diperkirakan mencapai 3,6 juta hektare dan saat terjadi fenomena el nino pada 1997-1998 yang mencapai 5,2 juta hektare yang disebut-sebut IFFM-GTZ (Lembaga Bantuan Penanganan Kebakaran Hutan, Jerman yang berkedudukan di Samarinda) bahwa bencana kebakaran hutan di Indonesia itu terluas/terparah di dunia. (*)

Copyright © ANTARA 2006