Jakarta (ANTARA) - Aksara Ulu atau Surat Ulu adalah sebutan untuk sejumlah aksara serumpun yang digunakan di Sumatera bagian Selatan. Nama Surat Ulu berasal dari kata surat yang bermakna aksara, sementara Ulu berarti daerah dataran tinggi tempat berhulunya sungai-sungai di Sumatera Selatan.

Dengan demikian, aksara yang juga dikenal dengan nama Aksara Kaganga itu merupakan huruf-huruf kuno yang banyak digunakan masyarakat bagian Ulu Sumsel pada zaman dahulu. Huruf-huruf yang populer pada 1926-1975 itu banyak ditemui di berbagai media tulis kuno, di antaranya pada bambu, kayu, kulit hewan, hingga tanduk binatang.

Aksara Ulu juga ditemukan dalam naskah-naskah penting sejarah masyarakat Sumsel, seperti strategi perang, penulisan mantera, hingga pengobatan, yang peninggalannya dapat dilihat di Museum Balaputera Dewa di Palembang.

Dalam sejarahnya, terdapat sebuah naskah yang menceritakan tentang perjalanan nenek moyang orang Indonesia yang disebut sebagai seorang pelaut bertuliskan Aksara Ulu.

Selain itu, ditemukan naskah gelumpai atau tulisan pada sebilah bambu, yang menceritakan tentang fisik Nabi Muhammad yang ditulis dalam bahasa Jawa, namun menggunakan Aksara Ulu.

Menyadari keistimewaan peninggalan warisan budaya itu, sekelompok anak muda Sumsel membentuk sebuah komunitas bernama Pencinta Aksara Ulu Sumatera Selatan. Nuzunur Ramadona, ketua dari komunitas tersebut menyampaikan bahwa ia bersama 25 orang anggota lainnya ingin menyalakan kembali budaya Aksara Ulu di mata masyarakat Sumsel agar tidak padam dan terlupakan.

Dona membidik Aksara Ulu agar masuk dalam muatan lokal di sekolah-sekolah di Sumsel, agar generasi penerus bangsa mengenal dan memahami sejarah asli daerahnya. Dengan demikian, tumbuh kecintaan mendalam sebagai anak daerah yang akan menanamkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

Untuk itu, Pencinta Aksara Ulu menggandeng dinas pendidikan dan kebudayaan setempat untuk bersama-sama mengangkat Aksara Ulu agar kembali lestari di kalangan masyarakatnya. Bagaikan gayung bersambut, gagasan Dona diterima dan didukung dinas pendidikan dan kebudayaan setempat. Kolaborasi tersebut akhirnya memunculkan inovasi-inovasi untuk bagaimana melestarikan warisan budaya Aksara Ulu.

Dona dan Pencinta Aksara Ulu sendiri mempelajari cara membaca dan memahami huruf-huruf kuno khas Sumsel tersebut dari salah seorang dosen di Jurusan Sejarah Peradaban Islam Universitas Raden Patah Palembang. Dari sana, mereka mendalami sejarah hingga makna dari keberadaan Aksara Ulu.

Bagi Dona, sapaan akrabnya, berbudaya itu perlu kedinamisan, sehingga dapat lebih leluasa dalam mengembangkan dan melestarikannya. Teringat akan kutipan UNESCO yang menyebut budaya adalah investasi, Dona terpikir agar bagaimana Aksara Ulu dapat mensejahterakan masyarakatnya. Untuk itu, Dona dan kawan-kawan mulai menggali potensi ekonomi dari warisan Aksara Ulu.

Dona mulai mengkombinasikan Aksara Ulu dengan produk-produk kreatif yang biasa dipakai masyarakat Sumsel dalam keseharian, mulai dari gantungan kunci, papan nama pagawai pemerintah bertuliskan Aksara Ulu, hingga pakaian batik dengan desain motif Aksara Ulu.

Batik Aksara Ulu

Sebagai bentuk dari kolaborasi dalam mengembangkan potensi ekonomi warisan budaya tulis asli Sumsel tersebut, Dona menggandeng perajin batik lokal yang menggunakan pewarna alam untuk turut berinovasi menciptakan batik Aksara Ulu.

Batik Aksara Ulu adalah kain batik bermotif Aksara Ulu, yakni huruf-huruf yang digabungkan sehingga menjadi sebuah satu kesatuan kata yang mengandung makna. Dalam hal ini, Dona menggandeng Industri Kecil Menengah (IKM) di Palembang bernama Gallery Wong Kito.

Dona dan para pemcinta Aksara Ulu memilih Gallery Wong Kito karena memiliki visi yang sama, yakni ingin memperlihatkan potensi yang dimiliki masyarakat Sumsel ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke dunia.

Gallery Wong Kito merupakan IKM sandang dan kerajinan yang memproduksi kain jumputan khas Palembang, kain batik, pakaian, hingga aksesori, dengan menggunakan pewarna alam dari getah gambir. Getah gambir sendiri diperoleh dari salah satu daerah di Sumsel.

Selain itu, Gallery Wong Kito juga memberdayakan masyarakat setempat dalam memproduksi produk-produk yang dihasilkan. Dengan demikian, Gallery Wong Kito boleh dibilang mencerminkan keunggulan dan kekhasan Sumatera Selatan.

Dari kolaborasi tersebut, Dona dan tim dari Pencinta Aksara Ulu mulai belajar membatik dari pemilik Gallery Wong Kito bernama Anggita Fitrillia Putri Pratama atau akrab disapa Anggi.

Dalam menciptakan batik Aksara Ulu, Dona banyak berdiskusi dengan Anggi, baik perihal warna, desain, motif, hingga aksara yang akan dicantumkan. Dengan demikian, tercipta produk budaya yang berkualitas dan dapat bersaing di pasaran.
 
Pemilik Gallery Wong Kito Anggita Fitrilia Putri Pratama menunjukkan Batik Aksara Ulu, hasil kolaborasi antara Gallery Wong Kito dan Pencinta Aksara Ulu Sumatera Selatan. (ANTARA/ Sella Panduarsa Gareta)


Sebagai pemuda Sumsel, Anggi mengaku senang dengan inovasi yang digagas Dona dan kawan-kawan. Menurut Anggi, batik dapat menjadi sarana untuk melestarikan Aksara Ulu lebih luas lagi. Selain itu, batik Aksara Ulu juga memiliki potensi ekonomi yang besar karena keunikannya.

Hal itu yang membuat Anggi semangat dan optimistis bahwa batik Aksara Ulu dapat diterima masyarakat. Ke depan, Anggi tertarik untuk mengembangkan motif Aksara Ulu untuk produk kreatif lain di bawah bendera Gallery Wong Kito.

Anggi berharap, batik Aksara Ulu dapat diterima masyarakat, terutama masyarakat Sumsel, sehingga cita-cita melestarikan budaya dan memunculkan nilai keekonomian warisan budaya dapat benar-benar terwujud. Sehingga, tidak hanya memunculkan kebanggaan, tapi dari Aksara Ulu diharapkan juga dapat turut mensejahterakan.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022