Jakarta (ANTARA) - Perhelatan KTT G20 di Bali, yang baru saja berakhir pertengahan November 2022, memberikan jejak bagi program transisi energi di Indonesia.

Sebagaimana diketahui program transisi energi membutuhkan pendanaan atau investasi skala besar. Selama perundingan KTT G20, komitmen pendanaan mengucur dari negara-negara maju dan sejumlah lembaga keuangan global.

Di samping bahwa transisi energi memang telah menjadi wacana yang mengemuka sejak satu dekade terakhir, selaras komitmen internasional dan komitmen Indonesia untuk beralih ke energi bersih, yang biasa dikenal sebagai energi terbarukan (renewable energy).

Ikhtiar transisi energi didukung potensi energi terbarukan, seperti sinar matahari, terpaan angin, bendungan, panas bumi, gelombang laut, dan seterusnya.

Tidak berlebihan bila dikatakan, berdasar potensi yang ada, Indonesia akan menjadi episentrum transisi energi global, atau setidaknya di tingkat regional (Asia Tenggara).

Presidensi G20 merupakan momentum bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi. Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo sudah menjelaskan, transisi energi menjadi isu prioritas dari presidensi G20.

Wajar bila transisi energi masuk skala prioritas, karena merupakan langkah besar untuk menghindari pemanasan global, sebuah fenomena perubahan iklim (climate change) yang sangat berisiko bagi kehidupan generasi mendatang.


Pendanaan sebagai katalis

Ikhtiar mempercepat transisi energi di negara berkembang seperti Indonesia, mustahil dilakukan jika hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Kemampuan fiskal dan APBN sangat terbatas untuk mendukung program strategis nasional tersebut, itu sebabnya dukungan pendanaan bisa menjadi katalis, dalam melanjutkan program transisi energi.

Komitmen pendanaan yang diperoleh selama berlangsungnya KTT G20, salah satunya adalah skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership, JETP), sejumlah 20 miliar dolar AS atau Rp 314 triliun, selama 3-5 tahun ke depan.

Kemudian ada pendanaan publik dan swasta dalam platform GFANZ (Glasgow Financial for Net Zero), yang didukung sejumlah perbankan dan lembaga keuangan internasional. GFANZ adalah tindak lanjut dari hasil COP 26 (KTT Iklim) di Glasgow (Skotlandia), November tahun lalu.

Ada lagi dukungan pendanaan melalui skema Mekanisme Tranisisi Energi (Energy Transition Mechanism, ETM). Adapun dana konsesional awal yang terkumpul adalah 500 juta dolar AS (setara Rp7,8 triliun), dan akan dikembangkan menjadi 4 miliar dolar AS (Rp62,8 triliun) dalam lima tahun.

Skema JETM dan ETM utamanya untuk pembiayaan (kompensasi) pensiun dini (early retirement) sejumlah PLTU, dengan PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 megawatt sebagai proyek pilot. Selain untuk penghentian PLTU, dana JETP juga disiapkan untuk pengembangan proyek lain berbasis energi terbarukan, seperti kendaraan listrik dan riset pengembangan EBT (energi baru dan terbarukan).

Transisi energi bersih dan hijau akan semakin kompetitif, berkat kemajuan sains dan teknologi. Biaya pembangunan infrastruktur EBT cenderung turun dari waktu ke waktu.

Proses produksi netral karbon (NZE) pada gilirannya juga semakin kompetitif, melalui biaya energi yang lebih rendah bagi sektor swasta. Berikutnya akan menciptakan peluang pekerjaan berkualitas lebih tinggi, meningkatkan ketahanan energi, dan pada akhirnya ada insentif bagi konsumen.

Dari segi geografis dan iklim, negeri ini berada pada posisi yang sangat baik, untuk meraih banyak manfaat dari energi bersih, dan sangat siap menjadi mercusuar energi terbarukan.

Indonesia memiliki salah satu potensi energi terbarukan tertinggi di planet ini, sehingga mampu menghasilkan energi berlipat ganda dari peak saat ini. Bila ditambah cadangan nikel, material utama baterai kendaraan listrik, potensi tentu akan lebih besar lagi.


PLTU sebagai jembatan

Konflik berlarut antara Rusia dan Ukraina bisa menjadi pembelajaran dalam program transisi energi. Negara-negara di kawasan Eropa Barat kembali menggunakan sumber energi fosil, utamanya batubara, untuk memitigasi kemungkinan defisit energi, dalam antisipasi musim dingin tahun ini.

Jerman misalnya, yang selama ini dikenal sebagai negara garda depan dalam transisi energi, terpaksa melakukan kompromi juga, ketika harus menghidupkan kembali sejumlah PLTU berbasis batubara.

Jerman perlu melakukan aktivasi PLTU, setelah perusahaan gas Rusia (Gazprom) menghentikan pasokan gas ke Jerman. Rata-rata negara di Uni Eropa mendapat pasokan gas dari Rusia, sekitar 40 persen dari total kebutuhan yang ada. Bisa dibayangkan besarnya pengaruh Rusia terhadap ketahanan energi di Benua Biru.

Kendati kembali memanfaatkan batubara, Jerman tetap menjaga ambisinya dalam transisi energi. Jerman tetap berkomitmen menutup seluruh PLTU mereka pada 2030, sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim.

Sesuai kebijakan sejak era Kanselir Angela Merkel (2005-2021) bahwa gas alam cair yang selama ini diimpor dari Rusia, sejatinya adalah “jembatan” transisi energi Jerman, dari pemanfaatan energi nuklir (PLTN) dan PLTU, menuju energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.

Dalam konteks perubahan iklim di tingkat global, beralih ke energi bersih adalah solusi terbaik bagi keberlanjutan planet bumi. Atas berhentinya pasokan minyak dan gas Rusia, dunia mengalami defisit energi.

Untuk itu perlu segera dicarikan jalan untuk mengatasi defisit energi hari ini, tetapi solusi yang diambil harus lebih mengedepankan kepentingan dekarbonisasi jangka panjang, terkait mitigasi emisi untuk menurunkan risiko krisis iklim.

Pembelajaran yang bisa dipetik adalah krisis energi saat ini justru bisa dijadikan momentum untuk mempercepat transformasi energi terbarukan, termasuk transfer teknologi dan pendanaan ke negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia.

Bila negara-negara berkembang yang selama ini selalu mengandalkan PLTU dalam pasokan energinya, harus menutup PLTU-nya lebih cepat, karena dianggap sebagai penyumbang emisi GRK (gas rumah kaca), perlu dipikirkan bagaimana agar rakyatnya tetap mencapai akses listrik yang bersih dengan harga terjangkau.

Bila mengingat kembali kebijakan Kanselir Angela Merkel saat masih berkuasa, bahwa gas alam asal Rusia diposisikan sebagai “jembatan” menuju pemanfaatan energi terbarukan secara menyeluruh.

Pada titik ini semua dapat melihat sebuah paralelisme, dihubungkan dengan keberadaan batubara di negeri ini. Bahwa akan tiba masanya, batubara diposisikan sebagai “jembatan” sebagaimana gas alam di Jerman.

Kontribusi Pertamina

Sebagai BUMN yang bergerak di sektor energi, PT Pertamina berperan aktif dalam perhelatan KTT G20, sebagai wujud komitmen dalam program transisi energi di Tanah Air.

Pertamina utamanya berpartisipasi aktif dalam Business 20 (B20) yang merupakan bagian dari G20. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati ditunjuk sebagai Ketua Satuan Tugas Energi, Keberlanjutan & Iklim (Task Force ESC), yang bekerja sama dengan para pemimpin bisnis global untuk menangani kebijakan terkait energi dan perubahan iklim.

Penunjukan Pertamina untuk memimpin Task Force ESC, adalah sebuah pengakuan peran penting peran penting dalam menyukseskan dekarbonisasi global.

Pertamina berkomitmen untuk mendukung komitmen pemerintah Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (emisi nol bersih) tahun 2060 atau lebih cepat.

Dengan mengembangkan peta jalan dekarbonisasi aset dan pembangunan bisnis hijau, melalui bisnis dekarbonisasi dengan tujuan efisiensi energi.

Selanjutnya membangun pembangkit listrik hijau, mengurangi reduksi gas methan, mendukung elektrifikasi transprtasi, serta menyediakan bahan bakar rendah karbon.

Pertamina sudah mengembangkan bisnis di bidang energi terbarukan, seperti EV charging station atau SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik untuk umum), pengembangan energi biru untuk manufaktur dan transportasi, pengembangan baterai dan biofuels.

Kemudian menerapkan teknologi penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) untuk lapangan migas di Jatibarang (Jabar).

Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar pencapaian net zero emission di Indonesia, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran. Salah satunya melalui penerapan penggunaan geothermal dalam hal produksi migas, penggunaan panel surya (Solar PV) dan penggunaan biogas.

Investasi dalam transisi energi dan dekarbonisasi telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pertamina terus bergerak maju dalam transisi energi sekaligus memungkinkan ketahanan energi untuk Indonesia.

Komitmen Pertamina ditunjukkan dengan memberikan perhatian penuh pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui transformasi ekonomi hijau. Tugas seluruh elemen bangsa berikutnya adalah mendukung dan menyukseskannya.


*) Dr Taufan Hunneman, Dosen UCIC, Cirebon.
 

Copyright © ANTARA 2022