Masih ada 1.528 yang belum masuk
Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tengah membuat dan mengembangkan sistem digitalisasi warisan budaya takbenda (WBTB) yang aksesnya akan dibuka bagi masyarakat umum, pelajar, hingga akademisi.

Digitalisasi WBTB tersebut diwujudkan melalui kerja sama dengan Perkumpulan Studi Kultura Indonesia atau biasa disebut Kultura sejak 15 September 2022. Program digitalisasi berupaya untuk memasukkan daftar WBTB ke dalam sebuah dashboard digital, kemudian memviasualisasikannya ke dalam sebuah sistem networking.

Program Director Studi Kultura Indonesia Ki Joyo Sardo H. pada Rabu menjelaskan hingga saat ini pihaknya masih melakukan uji coba terhadap 200 WBTB dari total 1.728 WBTB yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang merupakan usulan dari daerah.

“Jadi masih ada 1.528 yang belum masuk dan mungkin jika proyek ini dikembangkan dengan total 1.728 WBTB akan semakin kaya (visualisasi data), akan semakin padat jejaring yang terlihat,” kata Sardo dalam pertemuan virtual yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Pemerintah tetapkan Nota Garung Pantan warisan budaya tak benda

Baca juga: Delapan budaya Pontianak ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda



Dalam proyek ini, Kultura membuat petunjuk pelaksanaan data entry untuk mengolah data yang berasal dari halaman warisanbudaya.kemdikbud.go.id/dashboard dan memasukkannya ke dalam database yang baru.
​​
Bersama tim, Kultura menetapkan struktur data yang sudah ada yaitu nama WBTB, tahun penetapan, asal daerah, domain WBTB, kategori WBTB, kategori objek pemajuan kebudayaan (OPK), dan kategori Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT).

Setidaknya terdapat lima domain WBTB Indonesia dalam digitalisasi tersebut yang diadaptasi dari UNESCO yaitu tradisi dan ekspresi lisan, adat istiadat masyarakat, pengetahuan dan kebiasaan perilaku, seni pertunjukan, serta keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.

Seluruh konsep yang terhubung dengan 200 WBTB tersebut kemudian dipetakan ke dalam struktur data yaitu alat dan bahan baku, fungsi sosial, tema, demografi pelaku, kondisi saat ini, hingga ekosistem.

Berbagai divisi di Direktorat Jenderal Kebudayaan yang turut terlibat dalam program ini antara lain Direktorat Pelindungan kebudayaan, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Data Pokok Kebudayaan (Dapobud), dan sistem pendataan kebudayaan terpadu (SPKP).

Selain itu, digitalisasi yang dikerjakan Kultura juga dibantu dua orang ahli yaitu I Gusti Agung Anom Astika dan Martin Suryajaya.

Pada kesempatan yang sama, Anom mengatakan digitalisasi WBTB merupakan upaya Ditjen Kebudayaan untuk membangun gambaran secara lebih detail terkait WBTB yang sudah didaftarkan dari daerah, dari tingkat kabupaten, provinsi, sampai tingkat ke pusat sejak tahun 2013.

“Selama ini, data-data ini tersimpan di dalam berbagai dokumen dan masyarakat kurang bisa mengaksesnya secara lebih langsung," ujarnya.

Melalui perangkat web ini yang disusun oleh Kultura, data-data yang sudah digali melalui proses penetapan warisan budaya takbenda sejak tahun 2013 sampai tahun 2021 ini dibedah ataupun dipreteli satu-satu digambarkan secara lebih mudah, kata dia.

Sementara itu, Martin menambahkan digitalisasi WBTB yang tengah dikembangkan memiliki banyak tujuan mulai dari segi pengambilan kebijakan, praktik kesenian, hingga penggunaan data untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Dia berharap data-data tersebut nantinya juga diperkaya dengan data dari berbagai studi yang telah ada.

“Karena ini kan open access, ya, semua bisa memanfaatkan dan semua ikut berkontribusi. Jadi semangatnya mungkin mirip seperti Wikipedia, gotong royong memperkaya data bersama untuk kemudian kita memanfaatkan data bersama,” kata Martin.

Baca juga: Kebaya akan diusulkan jadi warisan budaya takbenda UNESCO

Baca juga: Gubernur minta arak Bali dipertahankan usai ditetapkan sebagai WBTb

 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022