Jadi, isu Xinjiang adalah masalah mengatasi ketidakstabilan dan separatisme alih-alih masalah hak asasi manusia,
Beijing (ANTARA) -

"Sekarang, saya rasa apabila kita kembali ke daerah ini, kita akan menyaksikan perkembangan-perkembangan lainnya. Kita akan melihat pembaruan di segala bidang," ujarnya.

Pada 2021, Produk Domestik Bruto (PDB) Xinjiang mencapai hampir 1,6 triliun yuan (1 yuan = Rp2.245), naik dua kali lipat dari angka yang tercatat pada 2012. Selama satu dekade terakhir, lebih dari 70 persen pengeluaran fiskal Xinjiang ditujukan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat.

Dalam dua kunjungannya ke Xinjiang pada 2010 dan 2019, Gaballa, kolumnis asal Mesir, mengatakan bahwa dirinya terkesan dengan jumlah masjid dan kebebasan beragama di sana.

"Saya mengunjungi Xinjiang saat bulan Ramadan pada 2010, dan saya menyaksikan bagaimana kaum Muslim memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan ibadah mereka," ungkap Gaballa. "Kebebasan beragama berlaku bagi semua orang, (dan) masjid buka setiap hari dan selama liburan."

Terdapat 24.400 masjid di Xinjiang, dengan perbandingan satu masjid untuk setiap 530 umat Muslim. Singkatnya, masjid yang ada di Xinjiang dua kali lebih banyak dibandingkan jumlah masjid di AS, Inggris, Jerman, dan Prancis bila digabungkan.

"Hal tersebut menegaskan seberapa besar kepedulian pemerintah China dalam melestarikan identitas keagamaan dan kebudayaan di Xinjiang. Itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak campur tangan dalam ritual keagamaan di Xinjiang, tetapi melindunginya dari terorisme dan faktor ketidakstabilan lainnya," papar Mansari.


PEMBANGUNAN DAN KEAMANAN TAK DAPAT DIPISAHKAN

Datang dari sebuah kawasan yang dilanda ketidakstabilan, terorisme, dan agresi militer eksternal, para pakar Arab mengatakan bahwa dunia Arab mendukung upaya pemerintah China untuk meningkatkan stabilitas dan keamanan di Xinjiang, serta menambahkan bahwa kampanye disinformasi AS terhadap China tidak memiliki kredibilitas di mata mereka.

"Stabilitas dan separatisme merupakan isu penting bagi negara mana pun, dan tidak ada negara yang dapat menoleransi adanya perpecahan pada satu pun wilayah mereka," ujar Mansari.

"Jadi, isu Xinjiang adalah masalah mengatasi ketidakstabilan dan separatisme alih-alih masalah hak asasi manusia," ungkapnya, seraya menambahkan bahwa "kondisi hak asasi manusia dapat dilihat melalui perkembangan yang dicapai di Xinjiang."

Dalam kunjungan keduanya ke Xinjiang pada 2019, Gaballa mengatakan bahwa kondisi keamanan sangat berbeda dibandingkan dengan 2010 ketika "kelompok-kelompok sabotase melumpuhkan pembangunan di daerah tersebut" melalui serangan teroris.

"Dengan keamanan yang ada dan upaya pemerintah pusat, segalanya telah berubah menjadi lebih baik," ujarnya.

Dalam kampanye pencemaran nama baik tanpa henti terhadap China, Barat telah menyebarkan kebohongan yang menyebut pusat pendidikan dan pelatihan vokasional di Xinjiang merupakan apa yang disebut sebagai kamp interniran yang menahan 1 juta warga Uighur.

Faktanya, situs web berita reportase investigatif AS Grayzone telah mengungkap bahwa teori tersebut kali pertama dilontarkan dan disebarkan oleh apa yang disebut sebagai Pembela Hak Asasi Manusia China (Chinese Human Rights Defenders), sebuah organisasi nonpemerintah AS yang didukung oleh pemerintah AS. Organisasi itu membuat kesimpulan yang tidak masuk akal hanya melalui wawancara dengan delapan warga etnis Uighur dan perkiraan kasar.

Gaballa mengungkapkan dirinya telah mengunjungi pusat-pusat tersebut, yang menjadi tempat bagi warga setempat mempelajari bahasa Mandarin, hukum, dan berbagai profesi lainnya.

"Mereka yang lulus dari pusat-pusat tersebut memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pembangunan komunitas mereka, alih-alih menjadi (calon rekrutan untuk) teroris di masa depan," imbuhnya.

Retorika AS dan sekutu Barat mereka terhadap China "diterima pada tahun-tahun sebelumnya karena kurangnya klarifikasi fakta," tutur Mahmoud. "Namun, semuanya menjadi jelas setelah fakta diklarifikasi dan setelah AS melakukan praktik standar ganda dalam isu terorisme dan hak asasi manusia."

Lagi pula, tutur Mahmoud, AS merupakan satu-satunya negara yang mendirikan banyak kamp detensi di negara-negara lain, seperti penjara Teluk Guantanamo, di mana sederet pelanggaran hak asasi manusia yang mengejutkan terungkap. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022