Jakarta (ANTARA) - Sungai merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala, karena sejatinya manusia tidak bisa hidup tanpa air. Peradaban manusia tidak bisa dipisahkan dari yang namanya sumber air dan sejarah telah mencatat bahwa sungai adalah tempat tumbuhnya peradaban manusia. Peradaban-peradaban besar yang terjadi di dunia itu lahir, tumbuh, dan besar di tepi sungai, di antaranya peradaban Mesir Kuno (Nil), Sabit Subur (Tigris/Efrat), Tiongkok Kuno (Sungai Kuning) dan India Kuno (Indus).

Kota-kota kuno tersebut dapat berkembang karena sungai, selain menyediakan pasokan air minum, juga membuat lahan untuk tanaman tumbuh subur. Selain itu, barang dan orang juga bisa diangkut dengan mudah lewat sungai, serta orang-orang dalam peradaban bisa berburu binatang yang datang untuk minum air dan menangkap ikan di sungai.

Namun seiring dengan perkembangan zaman dan bertumbuhnya populasi di kota-kota besar dunia, tak jarang justru keberadaan sungai terlupakan, bahkan tak terawat. Kawasan sungai di perkotaan saat ini justru menjadi permukiman liar di ruang-ruang publik. Permukiman sepanjang bantaran sungai di Indonesia lekat dengan kesan kumuh, kotor, berbahaya, dan berantakan. Bahkan, bencana banjir merupakan "agenda" tahunan yang selalu dirasakan masyarakat pinggiran sungai.

Pendirian bangunan liar di bantaran sungai telah menyebabkan persoalan lingkungan, seperti menyempitnya penampang sungai, kerusakan tanggul, dan menumpuknya sampah yang dibuang ke tengah sungai dan merusak daerah aliran sungai (DAS).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Sedangkan bantaran sungai, menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional pasal 34 ayat 5 dan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 5 ayat 2 merupakan kawasan terbuka hijau yang dilindungi. Untuk itu bantaran sungai seharusnya menjadi kawasan lindung yang di dalamnya dapat dirasakan untuk kepentingan publik secara berkelanjutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan tentunya tidak dapat diwujudkan sendiri secara struktural oleh pemerintah, namun harus dilaksanakan secara bersama-sama dengan melibatkan setiap elemen, yaitu masyarakat, para pemangku kepentingan terkait, serta memperhatikan sumber daya alam yang ada. Masyarakat harus dipandang sebagai mitra pemerintah dalam mengelola ruang publik di sempadan/bantaran sungai. Para pemangku kepentingan terkait, seperti pelaku industri, juga memiliki peranan penting untuk dapat menaati peraturan dengan tidak membuang limbah ke sungai. Sehingga sumber daya alam dapat dilihat sebagai kawasan lindung hijau yang berpotensi, bukan hanya untuk dieksploitasi.


Penataan Kawasan 

Selain dapat mengatasi masalah lingkungan dan sosial, penyediaan ruang publik di bantaran sungai dapat menjadi solusi untuk menambah ruang terbuka hijau yang kini semakin terhimpit pembangunan kota. Pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda), telah memulai pembangunan beberapa ruang publik di kawasan tepi sungai. Hal ini merupakan bentuk pemanfaatan bantaran sungai sebagai ruang publik bagi masyarakat dengan tidak mengurangi fungsi dari sungai itu sendiri.

Penataan kawasan tepian sungai, menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, juga merupakan bagian dari upaya untuk mengedukasi publik akan pentingnya air dan pengelolaan sumber-sumber air yang berkelanjutan. Pengelolaan air adalah urusan kita bersama, termasuk masyarakat sebagai pemakai air. Oleh karena itu kita wajib melestarikan keberadaan sumber air, seperti tidak membuang sampah ke sungai.

Salah satu contoh sukses penataan kawasan tepian sungai yang telah dilakukan adalah rehabilitasi Bendung Karet Tirtonadi di Kota Surakarta atau yang lebih dikenal Kota Solo dan penanganan Kali Pepe Hulu serta Kali Pepe Hilir. Kawasan tepian sungai yang dulunya dipenuhi bangunan liar, kini telah disulap menjadi taman terbuka untuk ruang publik.

Kehadiran Bendung Karet Tirtonadi diharapkan tidak hanya menjadi pengendali banjir dan tampungan air baku, tapi juga sebagai objek wisata edukasi lingkungan karena juga dilengkapi dengan taman yang menjadi ruang terbuka publik.

Penataan kawasan Bendung Tirtonadi yang mengadopsi konsep Arsitektur Mangkunegaran, kini telah menjadi salah satu ikon baru Kota Solo, dengan bentuk-bentuk ornamen dan penggunaan warna kuning pada pagar pengaman, tiang lampu, kursi taman, gazebo, rumah panel, serta bangunan ikonik, yaitu Frame Tirtonadi, sebagai tempat foto dengan latar Bendung Tirtonadi, Gunung Merapi dan Merbabu.

Untuk memberikan nuansa rindang dan kenyamanan pengunjung, di sepanjang koridor Bendung Tirtonadi telah dilengkapi dengan tanaman-tanaman yang menjadi penghias kawasan itu, terutama pohon-pohon yang mempunyai kaitan erat dengan Kota Solo, seperti pohon Sala dan pohon Soekarno.

Pemanfaatan ruang tepi sungai semacam ini diharapkan dapat berdampak luas, di antaranya, selain sebagai ruang masyarakat umum yang dapat dinikmati bersama, juga membuka peluang-peluang lapangan kerja baru bagi penduduk kawasan bantaran sungai. Para pengunjung kawasan tepian sungai yang selalu ramai di pagi dan sore harinya, menjadi peluang tersendiri bagi para pedagang kuliner. Sambil menikmati kawasan tepian sungai yang rindang dan bersih, pastinya sangat menyenangkan bagi para pengunjung.

Untuk mengantisipasi kebersihan lokasi, Kementerian PUPR telah mengantisipasinya dengan menyediakan banyak tempat sampah di setiap sisi kawasan. Tak hanya itu, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo Ditjen Sumber Daya Air juga telah melibatkan anggota masyarakat yang terkumpul dalam Komunitas Peduli Sungai (KPS) untuk turut serta menjaga sungai dan kawasan tepiannya tersebut.

Komunitas tersebut akan dikukuhkan secara resmi pada Festival Bendung Tirtonadi, yang rencananya akan digelar pada 17-18 Desember 2022. Festival ini merupakan hasil kolaborasi dengan Pemerintah Kota Surakarta, Komunitas Peduli Sungai (KPS), dan para pemangku kepentingan lainnya.

Festival tersebut digelar sebagai bentuk upaya mengedukasi publik akan pentingnya air. Festival akan diisi dengan berbagai kegiatan, yakni menanam pohon, gerakan bersih sungai, tebar benih ikan, talkshow, lomba dayung, peragaan busana, kontes foto, festival UMKM dan ekonomi kreatif, hiburan dan doorprize, dolanan bocah, dan lomba mewarnai.

Ketua KPS Bendung Tirtonadi Agus Haryanto yang ditemui penulis beberapa waktu lalu mengatakan, terbentuknya KPS Bendung Tirtonadi berawal dari bentuk kepedulian warga akan kebersihan sungai dan kemudian difasilitasi oleh BBWS Bengawan Solo. Untuk kerja sama awal dengan BBWS Bengawan Solo, yakni pembuatan rumah hidroponik di tepi sungai, sebagai bentuk usaha komunitas sekaligus wisata edukasi bagi pengunjung yang datang.

Dengan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan diharapkan pengelolaan sungai tak hanya menjadi kebijakan satu arah yang ditentukan oleh pemerintah, melainkan menjadi bentuk kesadaran komunal masyarakat untuk ikut mengelola. Hal ini tentunya hanya dapat diwujudkan jika masyarakat diberikan rasa memiliki dalam pengelolaan sungai dan juga mendapatkan manfaat bersama dari pengelolaan sungai.

Dengan konsep pembangunan ruang publik berkelanjutan, diharapkan manfaat sungai dan lingkungan tidak hanya dirasakan oleh generasi kita saat ini, namun juga dapat diwariskan untuk anak cucu kita kelak, dengan prinsip ruang publik untuk semua.

*) Ahmad Jayadi adalah pranata humas ahli muda pada Kementerian PUPR

 

Copyright © ANTARA 2022