Tokyo (ANTARA) - Jepang pada Jumat mengubah kebijakan utama soal tenaga nuklir guna menangani krisis energi, lebih dari satu dasawarsa setelah bencana Fukushima pada 2011 memaksa negara itu menonaktifkan sebagian besar reaktor-reaktor miliknya.

Publik selama ini bersikap dingin terhadap energi nuklir sejak gempa bumi dan tsunami memicu krisis di pusat listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi.

Namun, sikap tersebut berubah setelah harga energi melonjak di tengah perang berkepanjangan di Ukraina, serta setelah krisis listrik terjadi berkali-kali, baik selama musim panas maupun musim dingin.

Jepang, yang rawan dilanda gempa bumi, sebelumnya menyebutkan tidak punya rencana untuk membangun reaktor-reaktor baru.

Sekarang, Jepang akan berusaha mengganti sejumlah reaktor yang sebelumnya dinonaktifkan dan memperpanjang masa operasi reaktor lainnya, kata Kementerian Perindustrian Jepang.

Pemerintah negara-negara di kawasan Eropa dan Asia juga sedang berusaha memperpanjang umur reaktor-reaktor nuklir mereka yang sudah menua.

Mereka juga mulai mengoperasikan kembali reaktor serta merapikan rencana untuk melanjutkan proyek-proyek yang ditangguhkan pascabencana Fukushima.

Berdasarkan rencana strategis yang disetujui oleh Kabinet pada 2021 menyangkut energi, Jepang bertekad untuk sebisa mungkin menurunkan ketergantungannya pada tenaga nuklir.

Namun, kebijakan baru itu akan membuka jalan bagi reaktor-reaktor untuk beroperasi kembali melebihi batas masa saat ini, yaitu 60 tahun, juga akan mendukung pembangunan reaktor baru.

Kebijakan tersebut disetujui pada Jumat oleh sebuah panel ahli di bawah kementerian perindustrian.

Perincian kebijakan akan dibahas di parlemen tahun depan, kata seorang pejabat kementerian itu.

Selama tahun fiskal hingga Maret 2021, nuklir mencatat 3,9 persen di antara jenis-jenis energi yang digunakan Jepang.

Pemerintah berniat untuk meningkatkan angka itu menjadi sebesar 22 persen pada 2030.


Sumber: Reuters

Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Bayu Prasetyo
Copyright © ANTARA 2022