Banda Aceh (ANTARA) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh meminta Pemerintah Kota Lhokseumawe membenahi pola penanganan pengungsi Rohingya sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

"Penanganan pengungsi yang saat ini masih ditempatkan di eks Gedung Imigrasi Kota Lhokseumawe semestinya harus ditangani sesuai Perpres 125," kata Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna, di Banda Aceh, Senin.

Permintaan ini disampaikan sebagai respon atas pernyataan Kepala Humas Wali Kota Lhokseumawe Marzuki yang mengatakan pihaknya tidak ikut serta berperan dalam menangani pengungsi saat ini.

Di mana, penanggungjawab penanganan pengungsi tersebut berada pada UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) dan IOM (International Organization for Migration).

Baca juga: Imigrasi minta UNHCR bertanggung jawab kaburnya imigran Rohingya

Baca juga: Sebanyak 23 imigran Rohingya kabur dari penampungan di Aceh


Husna menilai, pernyataan Pemko Lhokseumawe itu sebagai bentuk ‘buang badan’. Padahal, tanggung jawab pemerintah sudah tegas dimandatkan dalam Perpres 125 Tahun 2016 tersebut.

Dalam Perpres itu, kata Husna, dijelaskan setiap fase, sejak penemuan hingga penampungan terdapat tanggung jawab pemerintah. Termasuk soal akomodasi sementara dan serah terima pengungsi yang harus disertai penetapan dari bupati atau wali kota.

“Pernyataan semacam itu justru aneh, karena aturan mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah sudah tegas dalam Perpres tersebut. Ketika pemerintah mengaku tidak ikut serta, justru patut dipertanyakan apakah pihaknya telah menjalankan proses sesuai aturan yang ada,” ujarnya.

Seharusnya, kata Husna, pemerintah bersama organisasi internasional dan lokal saling berkoordinasi dalam menangani pengungsi, termasuk mengantisipasi ancaman gesekan yang muncul di masyarakat dalam menyikapi keberadaan pengungsi tersebut.

“Di situ lah tugas pemerintah untuk mencegah benturan itu agar tidak terjadi. Ini juga jadi pembelajaran, bahwa Aceh sangat membutuhkan aturan yang lebih komprehensif tentang pengungsi yang memuat petunjuk pelaksanaan tata cara/manajemen dan penanganan di kamp penampungan,” demikian Azharul Husna.

Pada Selasa (15/11) lalu sebanyak 111 imigran Rohingya terdampar di pesisir pantai Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.

Imigran Rohingya tersebut terdiri 73 orang di antaranya laki-laki dewasa dan 32 perempuan dewasa, lima anak dan seorang balita.

Kemudian, pada Rabu (16/11), sebanyak 119 imigran Rohingya kembali terdampar di pesisir pantai Desa Bluka Teubai Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.

Adapun ke-119 imigran Rohingya tersebut terdiri 61 laki-laki dewasa, 36 perempuan dewasa, 12 anak laki-laki dan 10 anak perempuan.

Setelah itu, para imigran tersebut ditempatkan di eks Gedung Imigrasi Kota Lhokseumawe. Namun, pada 14 Desember kemarin, sebanyak 23 imigran Rohingya tersebut kabur dari lokasi penampungan.*

Baca juga: Puluhan warga Lhokseumawe tolak keberadaan imigran Rohingya

Baca juga: Pemkot Lhokseumawe tidak bentuk satgas penanganan imigran Rohingya

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022