Singapura (ANTARA) - Dolar menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya di sesi Asia pada Jumat sore, berada di jalur untuk kinerja terbaiknya dalam tujuh tahun, didukung oleh pengetatan kebijakan moneter agresif Federal Reserve (Fed) dan kekhawatiran tentang prospek pertumbuhan global.

Indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang saingannya, telah melonjak lebih dari 8,0 persen tahun ini, terbesar sejak 2015. Terakhir menguat di 103,99.

The Fed telah menaikkan suku bunga dengan total 425 basis poin sejak Maret untuk mengekang lonjakan inflasi, sebuah langkah yang membuat dolar tetap dalam penawaran beli untuk sebagian besar tahun ini.

Tetapi ekspektasi bahwa bank sentral mungkin tidak perlu menaikkan suku bunga setinggi yang dikhawatirkan sebelumnya telah menyebabkan greenback melepas reli yang menjulang tinggi. Indeks dolar AS telah jatuh lebih dari 7,0 persen pada kuartal ini.

"Saya memperkirakan raja dolar akan kehilangan mahkotanya dan dolar akan membuat perubahan yang lebih menentukan pada pertengahan tahun depan," kata Ahli Strategi Mata Uang Bank of Singapore, Moh Siong Sim.

Sebaliknya bank sentral Jepang (BoJ) yang ultra-dovish dalam menghadapi Fed yang hawkish, telah menyebabkan kerugian bagi yen Jepang. Mata uang Jepang telah jatuh lebih dari 13 persen tahun ini, kinerja terburuk sejak 2013.

Tapi perubahan mengejutkan minggu lalu terhadap kontrol imbal hasil obligasi BoJ membuat investor bertaruh bahwa bank sentral akan segera sepenuhnya meninggalkan kebijakan kontroversialnya, memicu rebound pada mata uang yang rapuh.

Yen terakhir 0,4 persen lebih tinggi pada 132,47 per dolar.

"Pertanyaannya adalah apakah masih ada lagi yang akan datang," kata Sim. "Tapi saya pikir latar belakang fundamental untuk Jepang mulai mendukung yen."

Euro tergelincir 0,04 persen menjadi 1,0656 dolar, dan berada di jalur penurunan lebih dari 6,0 persen tahun ini, ditekan oleh kombinasi pertumbuhan zona euro yang lemah, perang di Ukraina dan sikap hawkish Fed.

Baca juga: Dolar menguat, terkerek lonjakan imbal hasil obligasi Pemerintah AS

Mata uang tunggal telah turun di bawah paritas terhadap dolar awal tahun ini untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade.

Sterling turun tipis 0,01 persen menjadi 1,2053 dolar, tampaknya akan menutup tahun penuh gejolak yang terlibat dalam drama politik dengan penurunan hampir 11 persen, yang terburuk sejak 2016.

Pembuat kebijakan dari Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) telah mengisyaratkan lebih banyak kenaikan suku bunga yang akan datang tahun depan, dalam upaya untuk menjinakkan inflasi bahkan dengan risiko merugikan ekonomi mereka.

"ECB dan BoE dipaksa untuk memperketat kebijakan lebih agresif di tengah guncangan biaya yang membandel, hampir pasti akan membawa Eropa ke dalam resesi yang cukup dalam," kata Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho Bank, Vishnu Varathan.

Di tempat lain Aussie menuju penurunan tahunan hampir 7,0 persen, dan terakhir naik 0,02 persen menjadi 0,6778 dolar AS. Kiwi, yang telah jatuh lebih dari 7,0 persen tahun ini, yang terburuk sejak 2015, turun 0,31 persen menjadi 0,6330 dolar AS.

Kedua mata uang, yang sering digunakan sebagai proksi likuid untuk yuan China, kemungkinan akan memimpin dari bagaimana pembukaan kembali China berjalan.

Baca juga: Yuan berbalik jatuh 135 basis poin, menjadi 6,9681 terhadap dolar AS

Perputaran balik China dari kebijakan "nol-COVID" yang kaku bulan ini telah membuat sistem perawatan kesehatannya berjuang keras untuk mengatasi gelombang infeksi, dan negara-negara memberlakukan pembatasan pada pelancong dari China.

Yuan di luar negeri, yang terakhir dibeli 6,9701 per dolar, menuju penurunan tahunan hampir 9,0 persen, kinerja tahunan terburuk sejak data tersebut pertama kali tersedia pada 2011, karena China terus terhuyung-huyung akibat efek pembatasan COVID yang ketat.

"Memasuki tahun 2023, fokus langsungnya adalah pada pertumbuhan. Di satu sisi, pertumbuhan global melambat... namun di sisi lain, pembukaan kembali China membawa harapan," kata Ahli Strategi Mata Uang OCBC, Christopher Wong.

"Masalahnya adalah apakah pembukaan kembali yang cepat (di China) memicu gelombang baru di beberapa negara atau wilayah, dan itu dapat menyebabkan pembatasan baru. Ini akan melemahkan sentimen dalam waktu dekat."

Baca juga: Rupiah diprediksi bergerak stabil jelang pergantian tahun

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022