Jakarta (ANTARA News) - Memperkirakan seberapa besar kekuatan lawan yang sesungguhnya dari sebuah cabang olah raga tampaknya "gampang-gampang susah" karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Meskipun secara prestasi dan teknik permainan sudah dapat dikatakan sempurna, belum tentu seorang atlet lantas akan selalu memperoleh kemenangan secara mutlak karena masih ada faktor "x" di luar faktor teknis yang juga menjadi kunci utama. Hukum tersebut tampaknya juga akan berlaku saat pertandingan voli pantai pada Asian Games XV, Qatar yang akan digelar awal hingga pertengahan Desember mendatang. Dan setiap negara pun masih memiliki kesempatan yang sama besar untuk meraih medali, terutama supremasi tertinggi, yaitu medali emas seperti yang menjadi target dari cabang voli pantai Indonesia. Pada Asian Games mendatang, Indonesia hanya akan mengirim tim putra. Namun, tidak ada salahnya jika ingin menjadikan sebuah kejuaraan sebagai salah satu tolok ukur untuk "memata-matai" kekuatan lawan yang harus dihadapi pada pesta olahraga terakbar se-Asia itu, seperti dari kejuaraan voli pantai Asia/Pasifik "LA Menthol" yang digelar di kawasan Pantai Kuta, Bali, 4-7 Mei. Minimnya negara peserta terutama dari kawasan Asia, membuat kejuaraan yang termasuk dalam salah satu seri kejuaraan Asia/Pasifik itu kurang layak untuk dijadikan panutan memperkirakan kekuatan asli lawan. "Hanya Thailand yang mengirimkan tim utama mereka pada kejuaraan ini, sedang China yang menjadi salah satu negara kuat tidak mengirim tim utama mereka. Jepang bahkan tidak ambil bagian," kata Andy Ardiansyah, salah satu atlet voli pantai. Pada kejuaraan berhadiah total 20.000 dolar AS tersebut diikuti tujuh negara, yaitu Selandia Baru, Australia, China, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan tuan rumah Indonesia. Agus Salim/Supriadi yang tergabung dalam tim Indonesia 2 tampil sebagai runner-up setelah dipaksa mengakui kekuatan lawan dari Selandia Baru Jason Lochhead/Kirk Pittman pada babak final. Pasangan Selandia Baru sebelumnya juga mengalahkan mereka pada dua final seri kejuaraan di Thailand bulan lalu. Jika dilihat dari hasil kejuaraan tersebut dengan mengesampingkan kekuatan China dan Jepang tentunya target emas pun telah ada di tangan, karena Selandia Baru termasuk dalam kawasan Pasifik dan tidak akan tampil di Asian Games. Terlebih Andy yang dipasangkan dengan Koko Prasetya menduduki peringkat ketiga pada kejuaraan itu, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan terjadi "all Indonesia final". Namun demikian, semua pihak tidak bisa menutup mata akan adanya kemungkinan terburuk. Presiden AVC, Rita Subowo berharap negara peserta pada kejuaraan di Kuta lebih banyak sehingga peta kekuatan negara Asia akan lebih mudah digambarkan. "Sepekan setelah dua seri kejuaraan di Thailand sebaiknya langsung ke Bali sehingga negara peserta yang ikut pun lebih banyak," katanya. Untuk menarik minat peserta, AVC pun berencana mengadakan "Bonus Pool", misalnya penghargaan sebagai pemain terbaik, dengan syarat mengikuti empat atau lima kejuaraan secara berturut-turut. Sementara itu, para pemain putra berharap dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas ketika mereka bertanding pada seri Kejuaraan Dunia mulai Juni hingga Juli mendatang diawali kejuaraan di China. Belum padu Berubahnya pasangan harus pula diikuti proses adaptasi yang memakan waktu cukup lama. Selama hampir lima tahun, Agus selalu berpasangan dengan Koko sedang Supriadi berpasangan dengan Andy. "Selama tiga bulan ini, kami memang masih melakukan adaptasi sehingga belum dapat saling menutup kelemahan masing-masing," kata Agus. "Kami masih sering mengalami hambatan komunikasi di lapangan." Menurt Agus, hal tersebut salah satunya disebabkan karena mereka sama-sama pemain senior sehingga tidak ada yang ingin mengalah dan justru sering bersikap egois ketika bertanding. Namun demikian, Slamet Mulyanto selaku pelatih kepala menyatakan hal tersebut tidak akan menjadi kendala. "Setidaknya mereka membutuhkan waktu enam bulan untuk membentuk tim yang solid," katanya. "Masih ada waktu hingga pelaksanaan Asian Games nanti dan kami pun masih akan mengikuti banyak kejuaraan untuk lebih memadukan mereka diantaranya pada kejuaraan dunia." Krisis pemain Kurangnya regenerasi pemain tentunya akan menjadi salah satu penghambat dalam proses pembinaan dan pengembangan suatu cabang olahraga dan hal itulah yang kini juga tengah dirasakan pada cabang voli pantai. Krisis pemain itupun diakui oleh Rita yang juga menjabat sebagai Sekjen KONI Pusat. Rentang jarak antara atlet senior dan junior terutama dalam hal prestasi masih dirasa sangat jauh, baik di bagian putra terlebih lagi di bagian putri. Para pemain senior masih menjadi andalan Indonesia di berbagai kejuaraan tingkat nasional ataupun internasional. Misalnya saja di bagian putra, hanya ada dua pasangan yang menjadi andalan yakni Agus/Supriadi dan Koko/Andy sedang di bagian putri hanya ada Ni Putu Timmy/Devota. "Sulit sekali mencari pemain voli pantai yang memiliki postur memadai untuk bersaing di tingkat Asia atau dunia," kata Rita. "Untuk itu, kita tengah merekrut banyak pemain dan dibina serta mengikutkan mereka ke banyak kejuaraan." Sementara itu, Koko juga tidak menampik jika regenerasi atlet voli pantai memang dirasa masih kurang. "Pembinaan atlet junior di bagian putri masih sangat minim bila dibanding di bagian putra. Kurangnya minat seorang perempuan untuk menggeluti olahraga menantang matahari tersebut, menurut Koko disebakan karena kodrat alamiah perempuan. "Mungkin mereka tidak ingin kulitnya menjadi hitam karena terpanggang matahari." Koko pun berpendapat, banyaknya turnamen yang diikuti sangat berpengaruh besar pada perkembangan permainan seorang atlet. (*)

Copyright © ANTARA 2006