Tidak ada yang ideal dalam sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat politik Universitas Jember Dr. Muhammad Iqbal mengatakan sistem proporsional tertutup akan menjadi pemicu lonceng kematian demokrasi di Indonesia.

"Jika narasi proporsional tertutup terus digaungkan, kemudian diaminkan oleh MK dan tanpa penegakan hukum yang sarat efek jera terhadap penjahat korupsi pemilu dan politik uang, maka lonceng kematian demokrasi bisa berdentum kencang tanda kemunduran esensi demokrasi," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis.

Menurutnya penolakan delapan fraksi DPR RI atas narasi mengganti sistem pemilu menjadi tertutup itu sudah tepat dan cocok dengan situasi Indonesia yang tengah mematangkan dan mendewasakan diri sebagai bangsa demokratis.

"Tidak ada yang ideal dalam sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup. Yang paling pas atau cocok dalam situasi demokrasi Indonesia yang beranjak mulai dewasa bagi saya adalah proporsional terbuka," tuturnya.

Ia menjelaskan wacana untuk kembali menjadi sistem proporsional tertutup adalah keinginan ego politik dari parpol besar untuk pertahankan status quo atau terbesit kepentingan oligarki politik untuk "memuluskan jalan" bagi partai baru agar tidak terseok di Pemilu 2024.

"Kematangan demokrasi Indonesia jelang 1 tahun 10 bulan menuju Pemilu 2024 kembali diuji. Kali ini oleh wacana mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup," ucap pakar komunikasi FISIP Unej itu.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Sistem pemilu proporsional tertutup kemunduran demokrasi

Baca juga: Pakar sebut sistem proporsional tertutup dorong parpol berbenah


Sejak 2004 sistem proporsional terbuka dianut dalam rezim Pemilu Indonesia dan sistem itu memastikan calon wakil rakyat berinteraksi langsung kepada calon pemilih di daerah pemilihannya.

"Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang membuat rakyat hanya memilih parpol karena calon wakil rakyat sudah ditentukan partai, sehingga rakyat seolah membeli kucing dalam karung karena tidak tahu pasti siapa caleg yang akan dipilihnya," katanya.

Menurutnya wacana untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup karena maraknya politik uang dari sistem proporsional terbuka sebetulnya alasan yang cenderung sumir dan rapuh.

"Politik uang dan korupsi pemilu bisa selalu terjadi bukan semata mengganti sistem pemilu. Tidak ada jaminan korupsi pemilu dan politik uang berhenti hanya dengan mengganti sistem yang terbuka jadi yang tertutup," ujarnya.

Bahkan sangat mungkin, lanjut dia, korupsi pemilu dan politik uang semakin merajalela dan membabi buta ketika para bakal calon legislatif diberi "angin surga" nomor urut jadi oleh parpol.

Baca juga: Peneliti BRIN minta MK konsisten soal sistem pemilu

"Jika Mahkamah Konstitusi terjebak dalam arus narasi sistem pemilu kali ini, maka MK boleh dikata ikut serta dalam merobohkan demokrasi sistem pemilu itu domain pembentuk UU yang mensyaratkan partisipatif masyarakat," ucap pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unej itu.

Dosen yang biasa disapa Cak Iqbal itu mengatakan jika hanya berdasarkan Keputusan MK terkait sistem pemilu nanti, maka asas partisipasi masyarakat jadi hilang dan demokrasi pun kehilangan sendi esensi.

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023