Jakarta (ANTARA) - Satu anggota majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengadili perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri dan pencucian uang dengan terdakwa Benny Tjokrosaputro tidak sepakat dengan nilai kerugian negara dalam perkara tersebut.

Dalam surat tuntutan disebutkan nilai kerugian negara adalah sebesar Rp22.788.566.482.083 sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Nomor: 07/LHP/XXI/05/2021 tanggal 17 Mei 2021.

"Menurut anggota majelis tidak dapat meyakini kebenarannya dalam kajian terkait metode penghitungan jumlah kerugian uang negara dengan investasi surat berharga, saham, dan reksadana di PT Asabri dan menjadi beban kepada terdakwa dalam bentuk uang pengganti karena ketidaktepatan dan tidak konsistennya dalam perhitungannya atau tidak nyata dan pasti," kata anggota majelis Mulyono Dwi Priyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

Menurut Hakim Tipikor Ad-hoc Mulyono, nilai kerugian negara tersebut dihitung berdasarkan nilai surat berharga berupa saham dan reksadana pesanan yang masih ada dan menjadi milik PT Asabri dengan harga yang bergerak secara dinamis.

"Tetapi, tidak dihitung saat cut off audit oleh auditor yang tertuang dalam LHP BPK dan ahli di persidangan sehingga tidak lengkap informasinya, tidak konsisten dengan penerimaan dana yang diterima atau diakui atas penjualan saham dan reksadana setelah 31 Desember 2019 bahkan sampai pemeriksaan saat 1 Maret 2021," jelasnya.

Dengan melihat metode perhitungan tersebut maka nilai saham dan reksadana yang masih ada dan dimiliki oleh PT Asabri mempunyai harga nilai saham dijual atau dilikuidasi. Artinya, walau pembeliannya tidak sesuai, tetapi masih milik dan menghasilkan dana kas bagi PT Asabri, meski jumlahnya tidak pasti karena tidak dinilai saat itu, dan harga berdistrosi.

"Jadi, akan lebih fair bila diperhitungkan juga dalam menghitung kerugian negara itu sendiri. Auditor tidak memperhitungkan itu, namun hanya efek surat berharga yang belum terjual kembali sebelum per 31 Desember 2019, tetapi memperhitungkan penerimaan setelah tanggal 31 Desember 2019," tambah hakim Mulyono.

Hal tersebut, menurut hakim Mulyono, menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat atau tidak nyata, tidak pasti, dan jumlah nilainya karena tidak dihitung secara nilai riil total jumlah pembelian yang menyimpang atau melanggar hukum.

"Yang mana tersebut masih ada di pembukuan PT Asabri, tidak dalam sengketa atau diblokir pihak berwenang, dan masih terdaftar di bursa efek. Bila itu sebagai alat, sarana, atau kejahatan perbuatan, bahkan yang menguntungkan atas investasi bermasalah tersebut, sebagai barang bukti, tidak diperlihatkan di dalam persidangan untuk meyakini secara nyata adanya efek saham tersebut sebagai alat atau sarana kejahatan dalam perkara ini," jelas hakim.

Ia menambahkan kerugian negara tersebut tidak nyata dan tidak pasti karena tidak dinyatakan dalam aturan dasar atau dokumen relevan dan valid yang harus ada dulu yang menyatakan kekurangan dari uang surat berharga dan barang tersebut benar-benar terjadi adanya kerugian negara dan jumlahnya belum pasti.

"Oleh karena masih potensi, belum dihitung nilai keseluruhan efek pada waktu tertentu, masih tersimpan atau dimiliki dan diperhitungkan kerugian negara dengan tak berdasar perhitungan yang benar," tambah Mulyono.

Apalagi dalam Laporan Keuangan 2012-2018 yang telah diaudit kantor Akuntan Publik, PT Asabri telah menyatakan keuntungan yang wajar dan semua hal materiil dengan total laba bersih setelah pajak sebesar sekitar Rp3 triliun yang di dalamnya ada komponen dari hasil pendapatan investasi saham reksadana.

"PT Asabri telah menyetorkan deviden kepada pemerintah sejumlah Rp80 miliar, termasuk dari transaksi yang dilakukan oleh terdakwa yang menguntungkan PT Asabri, bukan merugikan. Bila transaksi terdakwa adalah perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara namun nyatanya pemerintah mendapat pendapatan tidak sah dari deviden dan telah masuk APBN. Negara seharusnya tidak mendapat pendapatan yang tidak sah dari perbuatan melawan hukum sehingga perlu diperiksa lebih dulu," ungkap hakim.

Dalam perkara ini, majelis hakim yang terdiri dari Ignatius Eko Purwanto, Saifuddin Zuhri, Teguh Santoso, Ali Mukhtarom dan Mulyono DWi Puryanto menetapkan hukuman nihil dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp5,773 triliun kepada Benny Tjokrosaputro karena terbukti melakukan korupsi pengelolaan dana PT. Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) Persero dan pencucian uang.

Benny Tjokrosaputro sebelumnya sudah dijatuhi hukuman seumur hidup pada 16 Oktober 2020 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terhadap vonis tersebut, JPU Kejaksaan Agung dan penasihat hukum Benny Tjokro mengatakan pikir-pikir selama tujuh hari.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023