... perkiraan penyebab kematian massal ikan di perairan Danau Ranau. Yang pertama, fenomena mentilehan dan kedua upwelling
Bandarlampung (ANTARA) - Tepi Danau Ranau pekan lalu tiba-tiba disesaki puluhan ribu ikan yang lemas dengan kondisi mulut terbuka. Berdasarkan pengalaman beberapa tahun lalu, ada indikasi ikan-ikan tersebut kekurangan oksigen akibat terjadi perubahan kondisi di dalam perairan tersebut.

Peristiwa itu membuat geger masyarakat Lampung. Kematian massal secara mendadak di keramba jaring apung (KJA) di perairan sekitar Danau Ranau, tepatnya di Pekon atau Desa Keagungan Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat.

Kabar menghebohkan itu beredar cepat dan meluas melalui media sosial hingga kanal berita daring, baik lokal maupun nasional.

Tanda-tanda akan ada kematian massal ikan di perairan Danau Ranau itu dimulai pada Minggu (8-1) ketika mulai banyak ditemukan ikan dalam kondisi lemas berada di tepi danau. Kejadian tersebut terus berlanjut hingga 13 Januari lalu kemudian meluas ke lokasi budi daya masyarakat di KJA.

Atas kejadian tersebut, banyak pembudi daya ikan di sekitar danau seluas 125,9 kilometer persegi yang terletak di perbatasan Kabupaten OKU Selatan Provinsi Sumatera Selatan dengan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, itu merugi hingga ratusan juta rupiah.

Pembudi daya ikan rata-rata membangun keramba berukuran lebar 7 meter, panjang 14 meter, dan ke dalaman 9 meter dengan jumlah bibit ikan hingga 20 ribu ekor per petak KJA.

Dengan asumsi mereka memberi pakan sebanyak 5 ton dalam satu petak keramba, diperkirakan setiap keramba dapat berisi ikan 3,5-4 ton. Akibat kematian ikan tersebut, pembudi daya ikan setempat mengalami kerugian cukup besar.

Kerugian yang dialami para pembudi daya tersebut diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 miliar. Jumlah itu dihitung dari akumulasi ikan yang mati sebelum panen sebanyak 50 ton dengan harga ikan yang saat ini dijual per kilogram mencapai Rp21 ribu.

Danau Ranau merupakan danau terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba. Kematian massal ikan di Danau Ranau, yang merupakan danau vulkanik dan terletak berdekatan dengan Pegunungan Bukit Barisan serta berhadapan langsung dengan Gunung Seminung, ini bukanlah kali pertama.

Beberapa tahun silam, tepatnya pada 2018, kejadian serupa pernah terjadi, namun dengan jumlah kematian ikan tidak sebanyak sekarang ini.

Dengan adanya peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya maka membuat banyak pembudi daya mengaitkan peristiwa kematian massal ikan miliknya dengan fenomena 5 tahunan yang warga setempat mengenalnya dengan kata “mentilehan”.

Mentilehan merupakan salah satu fenomena alam tahunan yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Seminung yang mengakibatkan terbawanya aliran belerang ke perairan danau hingga ke keramba jaring apung milik pembudi daya.

Masyarakat setempat meyakini arus air yang mengandung belerang tersebut telah mengurangi kadar oksigen dalam air sehingga mengakibatkan ikan mencuat ke permukaan air dan mati lemas.

Dari hasil uji pada tahun 2011, Danau Ranau yang memiliki suhu udara 30 derajat celsius, alkalinitas 6,5, amonium 0,05 mg/l, dan PH 8 itu merupakan danau yang aman dari pencemaran.

Hal tersebut dikatakan oleh salah seorang pembudi daya setempat Bernama Robi. Menurut dia, fenomena alam tersebut rutin muncul setiap 5 tahun sekali, tepatnya pada Desember-Februari. Menjelang kehadiran fenomena alam itu selalu muncul tanda-tanda awal hadirnya ikan ke permukaan dengan mulut terbuka.

Karena peristiwa tersebut rutin terjadi setiap tahun maka para pembudi daya ikan setempat pun telah menyiapkan langka antisipatif, meski tidak dapat secara maksimal mengurangi kerugian secara materi.

Langkah antisipatif tersebut dilakukan untuk menambah kadar oksigen dengan menaruh pompa air jenis alcon di keramba jaring apung milik mereka untuk menyelamatkan ikan berukuran kecil yang berusia 1-2 bulan. Selain itu juga menjual dengan cepat ikan yang masih segar dan layak konsumsi serta memindahkan ikan yang mati dari perairan agar tidak mencemari lingkungan.

 
Pemeriksaan sampel keramba jaring apung (KJA) milik pembudi daya di sekitar Danau Ranau Lampung Barat oleh tim DKP Provinsi Lampung dan BKIPM. ANTARA/HO-Pembudi daya.
  Guna membantu menyelesaikan persoalan tersebut, pemerintah daerah melalui tim dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung beserta dengan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) turun ke lokasi untuk mengecek langsung.

“Hari ini, Jumat (13-1), kami bersama dengan tim BKIPM bekerja sama turun ke lokasi langsung ke keramba jaring apung di Danau Ranau untuk mengambil sampel airnya,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Liza Derni.

Pengambilan sampel air tersebut bertujuan untuk memeriksa secara pasti penyebab utama dari peristiwa kematian massal ikan di Danau Ranau.

Sementara waktu ini ada beberapa perkiraan penyebab kematian massal ikan di perairan Danau Ranau. Yang pertama, sesuai dengan penuturan warga setempat yaitu adanya fenomena mentilehan dan yang kedua adalah fenomena upwelling atau pembalikan massa air.

Fenomena upwelling tersebut didefinisikan sebagai peristiwa naiknya partikel seperti pakan ikan di lapisan bawah (thermocline) ke permukaan yang diakibatkan adanya perubahan musim atau akibat jarak keramba ikan yang terlalu rapat sehingga partikel tersebut mengurangi kadar oksigen dalam air.

Hasil pemeriksaan sampel air secara rinci serta adanya kajian ilmiah lebih lanjut akan diinformasikan dalam waktu dekat dan diharapkan dapat membantu penentuan langkah ataupun kebijakan lanjutan dalam menangani peristiwa tahunan itu.

Pembudi daya keramba berharap segera ada langkah lebih lanjut dari pemerintah daerah setelah menemukan kesimpulan dari investigasi atas penyebab kematian ikan itu. Para pembudi daya saat ini juga terus berusaha meminimalisasi kerugian.

Meski telah ada kesadaran kolektif melakukan langkah antisipatif dengan menambahkan pompa air di dalam keramba jaring apung untuk menambah kadar oksigen, para pembudi daya berharap pemerintah daerah dapat membantu mereka memulihkan usahanya dengan memberikan akses permodalan tambahan.

Paling tidak, tambahan modal tersebut bisa digunakan untuk memulai kembali usaha pada musim tebar berikutnya. Pembudi daya juga berharap ada relaksasi pembayaran angsuran kredit usaha rakyat (KUR) dalam beberapa bulan ke depan setelah mereka mengalami kerugian akibat gagal panen pada musim ini.




Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023