"Kami (Aremania) tidak diperbolehkan datang, kemudian juga media tidak diperbolehkan mengekspos (siaran langsung), ada apa. Peristiwa ini bukan kasus asusila, ini merupakan tragedi," kata Devi.
Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Salah satu keluarga korban, Devi Athok, menyesalkan proses persidangan Tragedi Kanjuruhan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur tidak diperbolehkan untuk disiarkan secara langsung oleh media massa dan jurnalis.

Devi, di Kota Malang, Jawa Timur, Senin mengatakan bahwa ia selaku keluarga korban mempertanyakan kebijakan dari Pengadilan Negeri Surabaya yang tidak memperbolehkan adanya tayangan langsung proses peradilan tersebut.

"Kami (Aremania) tidak diperbolehkan datang, kemudian juga media tidak diperbolehkan mengekspos (siaran langsung), ada apa. Peristiwa ini bukan kasus asusila, ini merupakan tragedi," kata Devi.

Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan bahwa proses persidangan Tragedi Kanjuruhan, tidak diperkenankan untuk disiarkan secara langsung yang merupakan permintaan dari majelis hakim.

Devi Athok sendiri merupakan ayah dari NBR (16) dan NDA (13) yang menjadi korban dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan. Proses autopsi juga telah dilakukan pada kedua putri warga Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang tersebut.

Devi menambahkan, sesungguhnya jika proses persidangan bisa disiarkan secara langsung oleh media dan jurnalis, proses jalannya persidangan bisa dikawal oleh seluruh pihak, termasuk oleh Presiden Joko Widodo.

"Seharusnya semua warga Indonesia mengetahui (jalannya persidangan), termasuk Presiden Jokowi bisa melihat bagaimana perkembangan persidangan di Surabaya," katanya.

Ia menambahkan, meskipun dalam proses persidangan itu para terdakwa dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat, ia tetap berharap proses sidang bisa dikawal.

"Walaupun pasal yang dikenakan hanya kealpaan, tapi jika kami hadir dan media bisa melakukan siaran langsung jalannya persidangan, kita bisa mengawal penegakan hukum di Indonesia," katanya.

Pada Senin (16/1), sidang perdana kasus Tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia pascapertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya digelar di Pengadilan Negeri Surabaya.

Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap lima orang terdakwa yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Petugas Keamanan Kanjuruhan Suko Sutrisno dan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur nonaktif AKP Hasdarman.

Kemudian, Kabag Ops Polres Malang nonaktif Kompol Wahyi Setyo Pranoto dan Kasat Samapta Polres Malang nonaktif AKP Bambang Sidik Achmadi.

Pada 1 Oktober 2022, terjadi kericuhan usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kekalahan itu menyebabkan sejumlah suporter turun dan masuk ke dalam area lapangan.

Kerusuhan tersebut semakin membesar dimana sejumlah flare dilemparkan termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut dan pada akhirnya menggunakan gas air mata.

Akibat kejadian itu, sebanyak 135 orang dilaporkan meninggal dunia dan menyebabkan ratusan orang lainnya mengalami luka berat dan ringan.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2023