Imlek menjadi momentum simbolik semangat bagi bangsa ini, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi oleh negara.
Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI Daniel Johan menyatakan perayaan Tahun Baru Imlek 2023 merupakan momentum semangat untuk menghapus diskriminasi.

"Imlek menjadi momentum simbolik semangat bagi bangsa ini, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi oleh negara kepada warga negaranya," kata Daniel Johan dalam diskusi, di Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jakarta, Jumat.

Menurut dia, momentum Imlek bukan hanya untuk orang Tionghoa, tetapi semua warga negara di Indonesia. Hal ini, kata dia, telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Daniel Johan merupakan salah seorang tokoh Tionghoa yang mengikuti perjalanan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam upaya menghapus diskriminasi di Indonesia.

Dia menceritakan sejarah kelam saat etnis Tionghoa mendapatkan diskriminasi dari negara.

"Zaman saya, di seluruh sekolah pelarangan pelajaran bahasa Mandarin. Bukan hanya pelajaran, tetapi toko-toko, restoran, tidak boleh ada tulisan Mandarin. Bahkan dulu, tidak boleh menyimpan atau memiliki film atau kaset Mandarin. Kalau dilakukan dianggap melanggar hukum," ujarnya pula.

Bahkan dia pernah merasakan, bagaimana nomor identitas di kartu tanda penduduk (KTP) diberikan simbol berupa titik.

Dia bersyukur semua bentuk diskriminasi berakhir setelah Gus Dur mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat di era Orde Baru.

Gus Dur lalu menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang menjadi awal bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia mendapatkan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.

"Gus Dur bahkan diangkat menjadi Bapak Tionghoa Indonesia," ujarnya.

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus pendiri museum pustaka peranakan Tionghoa Azmi Abubakar menjelaskan diskriminasi dikarenakan adanya cara pandang yang salah, akibat informasi terbatas yang diterima oleh masyarakat.

"Seandainya masyarakat tahu, seperti apa orang Tionghoa dan kontribusi mereka terhadap bangsa dan negara ini, maka persepsi mereka akan berubah," katanya menegaskan.

Sebagai keturunan etnis Aceh, pola pikirnya tentang orang Tionghoa berubah, setelah mendapatkan begitu banyak sejarah dan informasi tentang kepatriotan mereka di Nusantara.

"Tak kenal maka tak sayang, tapi saya yakin jika kenal akan jatuh cinta dan kagum. Saya kira tidak ada tempat lagi untuk menyimpan rasa yang negatif atau pandangan yang jelek," katanya pula.
Baca juga: Aktivis : diskriminasi perempuan karena ketidakpahaman aparatur negara
Baca juga: Menaker: Negara hadir cegah diskriminasi terhadap pekerja perempuan

Pewarta: Fauzi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023